kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Biaya proyek laut ultra dalam dipangkas separuh


Kamis, 28 Juni 2018 / 13:26 WIB
Biaya proyek laut ultra dalam dipangkas separuh
ILUSTRASI. CHEVRON


Reporter: Febrina Ratna Iskana, Pratama Guitarra | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Salah satu proyek minyak dan gas (migas) ultra  laut dalam atau Indonesia Deepwater Development (IDD) yang dikerjakan Chevron memasuki babak baru. Hal ini seiring adanya kepastian pengajuan proposal rencana pengembangan atawa plan of development (PoD) oleh perusahaan asal Amerika Serikat tersebut.

Chevron akhirnya bersedia memangkas biaya pengembangan seperti permintaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai syarat utama persetujuan PoD oleh pemerintah. Adapun pemerintah mengaku masih menanti proposal PoD proyek IDD resmi dari pihak Chevron paling lambat pada 28 Juni 2018 ini.

Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar mengklaim,  pemangkasan biaya proyek IDD ditaksir mencapai sekitar US$ 6 miliar. "Jadi kira-kira sekitar US$ 6 miliar cutting-nya (pemangkasan biaya), tadinya US$ 12,8 miliar," kata Arcandra saat ditemui KONTAN di Kementerian ESDM, Rabu (27/6) malam. Dengan kata lain, pemotongan hampir separuh

Ia menceritakan, pemangkasan biaya pengembangan Gendalo-Gehem ini tidak lepas dari lobi dan evaluasi pemerintah terhadap struktur biaya yang disodorkan oleh tim Chevron.

Pemerintah bahkan melakukan pembicaraan pemangkasan biaya dengan tim dari kantor pusat Chevron di Houston, Amerika Serikat (AS), beberapa waktu lalu. "Pembicaraan  sejak sebelum puasa," ungkap Arcandra.

Sejatinya PoD ultra laut dalam tahap kedua ini sebenarnya sudah sempat mendapat persetujuan pemerintah pada tahun  2008. Namun seiring perjalanan waktu, pada tahun 2013 setelah tahap front end engineering design (FEED), kebutuhan biaya proyek ini meningkat, dari sekitar US$ 6,9 miliar.

Nah, mulai melonjaknya harga minyak jadi alasan Chevron melakukan revisi PoD. Perusahaan yang dulu bernama Caltex itu kemudian merevisi PoD tersebut dengan menambahkan permintaan credit investment.

Saat revisi proposal revisi itu diserahkan, pemerintah selalu menola. Hal itu karena proposal tidak lengkap secara administrasi dan pihak Chevron meminta insentif yang tidak ada dalam kontrak, yakni credit investment.

Chevron meminta investment credit atau hak ganti rugi kepada pemerintah dengan persentase yang sangat tinggi, yakni sebesar 240%. Padahal maksimal investment credit yang diminta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) itu hanya sebesar  100%.

Arcandra menegaskan, pemangkasan biaya proyek IDD bukan semata-mata disebabkan harga minyak dunia yang berbeda dengan saat Chevron meminta revisi PoD sebelumnya, ketika harga minyak berada di posisi sekitar US$ 100-an per barel. Selain struktur pembiayaan, faktor utama pemangkasan biaya adalah penerapan teknologi yang tepat tanpa harus menghabiskan biaya ekstra. "Yang utama itu teknologi, the way that they develop, lalu teknologi komersial," ungkap Arcandra.

Meskipun mengalami pemangkasan biaya cukup signifikan, Arcandra menjamin produksi gas dari lapangan Gendalo-Gehem tidak akan terpengaruh. Layak kita tunggu realisasinya.

Bagi hasil untuk negara lebih besar

Pemerintah menjanjikan penyelesaian pembahasan kontrak baru untuk blok-blok yang sudah memasuki terminasi hingga tahun 2025 rampung tahun ini juga.

Salah satunya Blok Rokan yang dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia yang selesai masa kontrak pada tahun 2021 mendatang. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan,  keputusan siapa yang akan melanjutkan kontrak di blok migas dengan kontribusi terbesar itu pada bulan Juli 2018.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengungkapkan, proposal resmi yang mengandung berbagai macam program Chevron untuk mengelola Blok Rokan ke depan memang belum diterima. Namun, diskusi intensif terus dilakukan, termasuk pembicaraan tentang split atau bagi hasil yang akan diterapkan. Setelah kontrak tersebut habis,  selanjutnya tidak ada cost recovery melainkan gross split. Meski ada ketetapan atau aturan diskresi menteri terkait penambahan split, kontraktor dipastikan tidak akan mendapatkan bagi hasil lebih besar dari pada pemerintah. "Share negara harus lebih besar," tukas Arcandra.

Ketentuan bagi hasil migas skema gross split diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 52 Tahun 2017. Aturan itu menyebutkan persentase bagi hasil minyak untuk kontraktor adalah 43% dan sisanya pemerintah. Sedangkan bagi hasil gas 48% kontraktor dan 52% pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×