kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45916,01   -19,50   -2.08%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Experian: Sekitar 25% konsumen pernah mengalami penipuan online


Selasa, 26 Juni 2018 / 13:22 WIB
Experian: Sekitar 25% konsumen pernah mengalami penipuan online
ILUSTRASI. Benny Rachmadi - Siap-siap Diskon Belanja Online


Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebanyak tiga perempat dari konsumen Indonesia berbelanja secara online. Kategori belanja online teratas adalah perjalanan, makanan dan minuman, serta elektronik. Namun, kemudahan ini bisa meningkatkan eksposur terhadap kemungkinan tingkat penipuan.

Hal ini merupakan temuan dari Digital Consumer Insights 2018 oleh perusahaan layanan informasi terkemuka di dunia, Experian, yang bekerja sama dengan riset pasar ICT dan perusahaan penasihat terkemuka IDC.

Laporan Digital Consumer Insights 2018 berdasarkan survei konsumen yang dilakukan di sepuluh pasar Asia Pacific, termasuk Australia, Tiongkok, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Selandia Baru, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Laporan ini menemukan bahwa tingkat kenyamanan dan penipuan saling mempengaruhi. Transaksi yang mudah, yakni pembayaran tanpa menggesek kartu, serta tujuan bekelanjutan untuk memberikan pengalaman yang lebih baik dan mudah kepada konsumen, peluang untuk penipuan justru meningkat.

“Indonesia adalah salah satu pasar e-commerce yang pertumbuhannya paling cepat di dunia, dengan 74% dari responden pernah melakukan pembelian online,” kata Dev Dhiman, Managing Director, Southeast Asia and Emerging Markets, Experian Asia Pacific dalam siaran pers, Selasa (26/6).

Namun, dirinya membeberkan tingkat penipuannya pun tinggi, dengan rata-rata 25% orang Indonesia pernah mengalami tindak penipuan melalui berbagai macam e-commerce dan layanan, dan sekitar sepertiga (35%) dari mereka yang berpikir untuk mengganti penyedia layanan jasa ketika terjadi penipuan.

“Sayangnya pada kenyataannya, semakin tinggi tingkat kenyamanan digital berhubungan dengan semakin tingginya eksposur terhadap tindak penipuan," lanjutnya.

Pihaknya juga menemukan bahwa semakin tinggi eksposur terhadap tindak penipuan akan menyebabkan konsumen lebih memilih untuk mengadopsi langkah-langkah keamanan yang mudah digunakan seperti biometrik yang akan memungkinkan perusahaan-perusahaan untuk memastikan pengalaman yang lebih mudah kepada para konsumennya sambil mengelola tindak penipuan.

Sekitar 11% responden Indonesia bersedia untuk mengadopsi biometrik seperri sidik jari dan pengenal wajah dalam aplikasi komersial. Dalam hal ini, Indonesia menduduki peringkat kelima, setelah negara-negara berkembang lainnya seperti India, Tiongkok, Vietnam dan Thailand.

Penelitian ini menemukan bahwa adanya kesalahan dalam penanganan untuk menganggapi tindak penipuan menghasilkan dua tipe kerugian bagi perusahaan, karena tanggapan yang berbeda dari konsumen yang didasarkan pada sikap dan presepsi mereka.

Laporan ini mengindentifikasi dua kelompok konsumen, yaitu digital voyagers dan digital pragmatists. Digital voyagers mendominasi di digital ekonomi berkembang dan mereka lebih mengutamakan kenyamanan dan kurang menghindari risiko. Di sisi lain, digital pragmatists merupakan negara-negara yang cenderung berasal dari perekonomian yang lebih matang, lebih berhati-hati dan peduli mengenai tingkat keamanan.

“Mengetahui perbedaan antara digital voyagers dan digital pragmatists penting untuk perusahaan-perusahaan karena mereka menanggapi tindak penipuan dengan cara yang berbeda-beda,” tambahnya.

Dalam kasus negara-negara yang termasuk digital voyagers, seperti Indonesia, perusahaan ritel mungkin akan menghadapi peningkatan biaya penanganan tindak penipuan karena penggunaan digital yang terus-menerus. Perusahaan ritel menggunakan biaya kerugian dari tindak penipuan untuk mempertahankan konsumen.

Negara-negara yang termasuk digital pragmatist seperti Hong Kong, orang-orang cenderung menghindari transaksi digital karena takut akan penipuan dan hal ini menghasilkan hilangnya pendapatan untuk bisnis digital.

Salah satu cara perusahaan e-commerce dapat terlindung dari tindak penipuan adalah dengan memiliki informasi berkualitas tinggi tentang konsumen mereka sehingga mereka dapat memverifikasi transaksi dengan baik. Ketika ditanyakan, sebesar 45% dari responden Indonesia bersedia membagikan data pribadi mereka kepada perusahaan, khususnya untuk mendeteksi penipuan yang lebih baik.

Konsumen juga selektif dalam hal membagikan informasi mereka kepada perusahaan, dengan 4,5% responden Indonesia mengatakan bahwa mereka sudah memberikan informasi yang tidak akurat untuk menghindari pengungkapan data pribadi. Hal ini lebih rendah dibandingkan rata-rata Asia Pasifik yaitu 5%.

Orang Indonesia juga merupakan negara ketiga di kawasannya dalam memberikan informasi yang tidak akurat kepada perusahaan, di bawah Thailand dan Vietnam. Sekitar 31% responden pernah melakukan kesalahan mendasar dalam data pribadi seperti alamat, nomor telpon dan nama; 27% pernah melakukan kesalahan dalam memberikan data pribadi yang sangat dijaga kerahasiaannya seperti rincian pembayaran; dan 24% telah memberikan informasi yang salah untuk data yang berhubungan dengan umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan mereka.

“Di seluruh kawasan, kami menemukan bahwa adanya kesenjangan tingkat kepercayaan antara orang-orang dan perusahaan,” lanjutnya.

Konsumen mengirimkan data yang tidak akurat atau dengan sengaja menghindari informasi penting kepada perusahaan. Hal ini, menunjukkan bahwa lebih sulit bagi perusahaan untuk mengidentifikasi konsumen online mereka dan melawan tindak penipuan secara efektif.

Dengan percepatan di era ekonomi digital, tantangan bagi penipu hanya akan tumbuh dan perusahaan harus memastikan bahwa mereka memanfaatkan teknologi dengan tepat dan memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi kekompleksitasan di era digital.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×