kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

INDEF: Subsidi LPG 3 kg harus langsung ke orang


Rabu, 18 Oktober 2017 / 17:11 WIB
INDEF: Subsidi LPG 3 kg harus langsung ke orang


Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA - Kebijakan pemerintah memberikan subsidi terhadap produk Liqufied Petroleum Gas (LPG) kemasan 3 kilogram dinilai tidak efektif dan rawan penyelewangan karena fokus subsidi hanya pada barang. Untuk itu Institute for Development of Economics and Finances (INDEF) mengusulkan bahwa subsidi LPG 3 kg sebaiknya diberikan langsung kepada orang, bahkan untuk jangka panjang subsidi tersebut ditiadakan saja.

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finances (INDEF) Berly Martawardaya, mengatakan penyaluran LPG kemasan 3 kg yang disubsidi pemerintah sangat rentan tidak tepat sasaran. Dengan demikian, realisasi janji-janji pemerintah mengenai subsidi tepat sasaran mengenai kartu subsidi perlu segera direalisasikan.

“Subsidi LPG 3 kg jangan sampai salah sasaran. Ini sangat rentan sekali buat bocor karena belum ada pengawasannya. Janji-janji kartu dari mulai LPG, BBM,  itu realisasinya sampai saat ini belum berjalan. Jangan sampai LPG 3 kg ini bisa dinikmati oleh restoran-restoran yang menghabiskan ratusan tabung padahal mereka untungnya sudah banyak,” ujar Berly dalam diskusi “Mengawal Subsidi LPG 3 Kg Tepat Sasaran” di Jakarta, Rabu (18/10).

Seperti dietahui, pagu subsidi LPG pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017,  ditetapkan  Rp 20 triliun dengan asumsi program subsidi langsung LPG dimulai secara bertahap pada 2017. Diperkirakan, bila penyaluran dibatasi secara penuh, subsidi LPG akan turun menjadi Rp 15 triliun. Kata Berly, turunnya angka subsidi karena berkurangnya jumlah rumah tangga penerima yang semula 54,9 juta rumah tangga menjadi 26 juta rumah tangga karena LPG 3 kg hanya dinikmati rumah tangga miskin dan 2,3 juta usaha mikro. Dalam APBN Perubahan 2016, kuota LPG 3 kg ditetapkan  6,25 juta ton dan pada 2017 ditetapkan 7,096 juta ton.

Dalam perjalanannya, katanya, konsumsi LPG 3 kg tidak tepat sasaran. Sesuai ketentuan, LPG 3 kg diperuntukan bagi masyarakat miskin dan usaha kecil dan mikro. Namun di lapangan, LPG 3 kg digunakan oleh rumah tangga menengah dan mapan, pertanian, peternakan, bahkan jasa laundry pakaian. “Selama ini LPG 3 kg dikonsumsi siapa saja karena tidak diatur dengan mekanisme distribusi tertutup sehingga konsumsi terus meningkat. Ini juga kan jadi cost bagi Pertamina,” ujar Berly yang juga sebagai Dosen Ekonomi Energi dan Sumber Daya Mineral Universitas Indonesia.

Menurut Berly, subsidi LPG 3 kg akan efektif jika memenuhi sejumlah kriteria, antara lain  harus sampai pada penerima (targeted), menyentuh hal-hal yang produktif, dan tidak mengalami pertumbuhan yang besar setiap tahun. “Jangan sampai juga habis waktu untuk urusan administrasi atau orang seperti raskin,” ujarnya.

Dia mengatakan agar subsidi tepat sasaran  bisa melalui skema Kartu Indonesia Sehat (KIS) ataupun Kartu Indonesia Pintar. Di sana tinggal memasukkan nominal alokasi untuk LPG 3 kg, misalnya tiga tabung LPG untuk 1 kepala keluarga. “Akan lebih effective cost-nya tinggal ditambah untuk harga tiga tabung LPG 3 kg misalnya seharga Rp 45.000,” ujarnya.

Ali Ahmudi, Pengamat Energi dari Center for Energy and Food Security Studies (CEFSS) menjelaskan, subsidi LPG 3 kg yang diberikan kepada orang akan jauh lebih efektif. Selain itu jangan sampai masayarakat diberikan pilihan dengan disparitas harga yang sangat jauh.

Ali mencontohkan LPG, selain 3 kg, ada kemasan LPG 5,5 kg dan 12 kg, namun disparitas harganya cukup jauh. “Selama ada pilihan dengan harga yang jauh lebih murah, masyarakat akan lebih memilih dengan harga yang lebih murah, siapapun itu,” katanya.

Ali menyarankan agar subsidi tepat sasaran  dan efektif, sebaiknya diberikan kepada orang lebih efektif ketimbang subsidi barang. Setelah itu dilakukan melalui subsidi tertutup kemudian pemerintah juga harus memiliki alternatif selain LPG agar masyarakat  memiliki pilihan lain.

“Idealnya subsidi tidak naik atau menggelembung, justru seharusnya yang terjadi adalah penurunan angka penerima subsidi. Kalau subsidi barang terus dilakukan, akan menjadi candu. Sebaiknya untuk jangka panjang, subsidi barang dihilangkan,” ujarnya.

Menurut Ali, tidak masalah apabila subsidi tidak bertumbuh. Namun, bila LPG bersifat konsumtif, jumlah terus bertambah dan lama-kelamaan negara tidak bisa membayar.

Dari sisi produksi, lanjut Ali, kemampuan nasional untuk memproduksi LPG 3 kg hanya sebesar 1,4 juta metrik ton. Sementara kebutuhan nasional sebesar 5 juta metrik ton. Lebih dari 3 juta metrik ton, masih impor. “Dengan berfokus pada subsidi yang bersifat konsumtif, kebutuhan terhadap LPG impor juga akan semakin besar,” katanya.

Sementara LPG tidak mudah digantikan oleh LNG ataupun CNG, meski sama-sama berasal dari sumber minyak dan gas bumi. Pasalnya, masing-masing memiliki karakter berbeda. “Menggantikan LPG dengan CNG atau LNG tidak gampang. Butuh teknologi dan biaya yang lebih,” terangnya.

Karena itu, kalaupun ada opsi alternatif selain LPG, harus dicarikan sumber energi yang lebih mudah misalnya melalui jaringan gas ataupun biomassa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×