kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini saran pebisnis soal pajak progresif tanah


Rabu, 08 Februari 2017 / 20:23 WIB
Ini saran pebisnis soal pajak progresif tanah


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Adi Wikanto

JAKARTA. Pelaku pasar melihat kebijakan pajak progresif untuk tanah menganggur alias idle sebagai tantangan yang besar dari sisi implementasi. Pasalnya tidak semua lahan memiliki nilai yang sama.

“Pemerintah kalau ingin jalankan ini harus kerjasama dengan pemerintah daerah. Jangan lihat dari sudut pandang nasional saja,” Kata CEO Urban Ace dan Anggota dari Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) Ronny Wuisan di Hotel Ibis Harmoni, Jakarta, Rabu (8/2).

Selain itu, ia menekankan bahwa pemerintah akan salah sasaran apabila kebijakan ini untuk membidik pelaku developer properti. Soalnya, developer tidak punya landbank yang banyak. Hanya developer lama dan kelas wahid seperti Ciputra yang bisa memiliki landbank yang banyak.

Oleh karena itu, pemerintah harus menyasar aturan ini kepada pemilik-pemilih tanah individual yang bila koleksinya dikumpulkan akan banyak sekali.

Property developer tidak punya landbank. Individual baru banyak. Contohnya, pengusaha-pengusaha lokal di daerah. Satu dua orang tapi memiliki lahan yang banyak. Jadi, kalau mau jalankan ini harus disasar ke sana,” ucapnya.

Adapun menurutnya pemilik tanah sengketa dan tanah warisan juga merupakan sasaran yang tepat bagi kebijakan ini karena banyak yang punya tanah bukan untuk dibangun rumah atau properti, tapi untuk mencari keuntungan dari kenaikan harga tanah tiap tahun.

"Itu bisa jadi pendorong anaknya (pewaris tanah sengketa) untuk cepat-cepat menjual. Daripada tiap tahun dikenakan pajak, siapa yang mau bayar," kata Ronny.

Adapun bila pajak progresif diberlakukan juga untuk tanah sengketa, proses sengketa mungkin tidak akan dibiarkan berlarut-larut.

"Kalau UU (pajak progresif) berlaku, itu tidak peduli tanah sengketa atau tidak. Itu bukan urusan negara. Siapa nama yang tercantum di sertifikat, itu yang bayar pajak,” katanya.

Ronny mengatakan bahwa sesungguhnya kebijakan ini merupakan kebijakan yang baik. Mengingat salah satu tujuannya adalah untuk mendanai infrastruktur negara dari pendapatan perpajakan. “Kami bisa maklumi sehingga bukan sekedar untuk mengamankan penerimaan negara,” ujar Ronny.

Menurut Ronny, bila kebijakan ini diterapkan menjadi sebagai UU, pemerintah harus arif karena properti adalah industri yang besar dan melibatkan banyak pemain sehingga pemerintah tidak akan sembarangan menerapkan kebijakan ini.

“Saya yakin pemerintah tidak akan salah sasaran sehingga bila saat ini masih ada kekhawatiran di kalangan pelaku pasar seharusnya tidak ada,” katanya.

Ia menyebut, pelaku usaha kawasan industri adalah yang paling ketar-ketir karena tanahnya ratusan hektar, sehingga mereka hanya memiliki tiga opsi, yaitu menjual, membangun, atau membayar.

“Kalau membangun, tidak mungkin membangun hanya karena menghindari pajak progresif. Kalau jual, mau jual harga berapa? Mereka pusing di situ,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×