kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

IRESS: Relaksasi ekspor mineral rugikan negara


Kamis, 20 Juli 2017 / 16:26 WIB
IRESS: Relaksasi ekspor mineral rugikan negara


Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Dampak dari relaksasi ekspor konsentrat dan mineral mentah kadar rendah yang dilakukan pemerintah kian terasa. Tidak hanya merugikan bagi kalangan industri yang bergerak di hilirisasi mineral, kebijakan tersebut juga berpeluang merugikan pemerintah.

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengatakan, sebenarnya publik menaruh harapan besar terhadap pemerintahan Joko Widodo yang telah berjanji akan konsisten menjalankan perintah UU Minerba No4/2009. Namun pemerintahan Jokowi di tahun ketiga justru malah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2017 serta Peraturan Menteri ESDM No.5/2017 dan No.6/2017. Ketiga peraturan ini pada dasarnya mengizinkan kembali ekspor konsentrat mineral mentah kadar rendah untuk bauksit dan nikel.

"Penerbitan peraturan tersebut melanggar UU Minerba No,4/2009, IRESS kecewa dengan sikap pemerintah ini. IRESS pun ikut bergabung mengajukan gugatan uji materiil bersama Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) atas peraturan-peraturan tersebut ke Mahkamah Agung (MA) pada akhir Maret 2017 yang lalu. Target gugatan adalah agar peraturan-peraturan tersebut dibatalkan, hukum ditegakkan dan kebijakan relaksasi ekspor konsentrat dibatalkan," jelas Marwan, Kamis (20/7).

kebijakan relaksasi ekspor juga mengurangi kesempatan negara untuk meningkatkan berbagai aspek terkait ekonomi dan keuangan. Beberapa di antaranya menurut Marwan adalah kesempatan untuk memperoleh Produk Domestik Bruto (PDB), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), penerimaan pajak, investasi luar negeri, perputaran kegiatan ekonomi dan pendapatan masyarakat. Kebijakan relaksasi pun dianggap akan menghambat penyediaan bahan baku industri di dalam negeri yang berakibat terkurasnya devisa untuk melakukan impor.

Marwan juga bilang dengan terbitnya PP No 1/2017, waktu relaksasi yang diberikan guna menunggu terbangunnya smelter lebih lama, yaitu lima tahun. Maka tidak heran jika kebijakan relaksasi ini juga telah memberikan sinyal yang buruk bagi investasi pembangunan smelter atau bahkan bagi iklim investasi secara keseluruhan.

Menurut Marwan, Pemerintah saat ini sebetulnya cukup proaktif menarik minat investor berinvestasi dengan mengefisienkan sistem perizinan melalui BKPM, justru pada saat yang sama, dengan menerbitkan PP No 1/2017. Namun di sisi lain, pemerintah juga mendemonstrasikan ketidakpastian hukum sehingga minat smelter akhir-akhir ini menjadi berkurang.

Marwan juga menyebut pemerintah saat ini telah mengkhianati komitmen yang dibuat dengan para kontraktor yang telah melakukan investasi pembangunan smelter dalam dua tiga tahun terakhir. Kebijakan relaksasi pun akhirnya membuat peta dan volume ekspor-impor konsentrat berubah, harga komoditas turun, dan kelayakan smelter pun ikut terganggu.

Faktanya dari 12 smelter bauksit/nikel yang direncanakan dibangun pada 2015 lalu ternyata hanya terealisasi lima smelter. Begitu juga yang terjadi pada 2016, dari empat smelter yang rencananya dibangun hanya terealisasi dua smelter.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×