kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Lundin Petroleum pilih hengkang dari Indonesia


Jumat, 22 Mei 2015 / 06:27 WIB
Lundin Petroleum pilih hengkang dari Indonesia


Reporter: Agustinus Beo Da Costa | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Industri Minyak dan Gas Bumi (Migas) memang tengah lesu. Harga minyak bumi yang tetap lesu, birokrasi perizinan yang berbelit, serta rezim perpajakan yang memberatkan pengusaha migas, membuat investor pilih keluar dari Indonesia.

Kabar terbaru, Lundin Petroleum berniat keluar dari Indonesia. Perusahaan asal Swedia ini menyetop investasi di Tanah Air. Langkah Lundin ini menyusul investor migas yang lebih dulu kabur dari Indonesia seperti Hess Corporation (Amerika Serikat), Anadarko Petroleum Corporation (Amerika Serikat), Korean National Oil Corporation (Korea Selatan), dan Premier Oil (Inggris).

Exploration Manager Lundin Petroleum Batara Simanjuntak menjelaskan, situasi industri migas saat ini memang negatif. Hal ini bisa dilihat dari penurunan harga minyak, lalu sulitnya perizinan migas, dan beban pajak bumi bangunan (PBB) pada tahap eksplorasi.

Selain itu pembubaran Badan Pengatur Sektor Hulu Migas (BP Migas) yang berubah menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) ikut mempengaruhi bisnis ini. Kasus suap yang menyeret mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini turut memperkeruh iklim bisnis migas. "Ini semua memberi sinyal negatif kepada para pemegang saham Lundin," ujar dia kepada KONTAN, Kamis (21/5).

Pelbagai sinyal negatif itulah yang menurut Batara membuat pemegang saham Lundin memutuskan untuk keluar dari Indonesia. Di antara sekian problem, faktor paling memberatkan bagi Lundin adalah kewajiban membayar PBB pada masa eksplorasi tahun 2012 dan 2013.

Meskipun aturan ini sudah dicabut tahun 2014, nyatanya Lundin tetap harus membayar tagihan untuk dua tahun itu. Sebab pemerintah sudah memasukkan nilai tagihan tersebut ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015. Adapun PBB eksplorasi yang harus dibayar Lundin adalah untuk Blok Gurita, di Offshore Laut Natuna dengan nilai pajak US$ 13 juta per tahun.

Artinya dua tahun Lundin harus bayar US$ 26 juta. Batara menilai, tagihan PBB eksplorasi ini tak nalar. Sebab nilai komitmen kerja Lundin dalam setahun cuma US$ 1 juta. "Jadi kalau PBB eksplorasi sebesar itu, tidak masuk akal," tandasnya.

Lundin sudah mengajukan keberatan pembayaran PBB eksplorasi tersebut ke pengadilan pajak. Jika keberatan itu dikabulkan, Lundin tidak membayar. Tapi kalau tidak dikabulkan, perusahaan ini harus membayar. Nah, apapun putusan pengadilan pajak, keputusan Lundin hengkang dari Indonesia sudah bulat. "Hal ini karena keputusan sudah diambil oleh manajemen Lundin di pusat jauh-jauh hari," ungkap dia.

Menurut Batara, manajemen pusat Lundin sudah memeringkat portofolio di seluruh dunia. Aset perusahaan di seluruh dunia tentu terdampak oleh melemahnya harga minyak dunia. Namun, di Indonesia adanya PBB eksplorasi ini menjadi disinsentif bagi perusahaan tersebut.

Incar blok eks Lundin

Selain faktor PBB, hasil pengeboran eksplorasi yang dilakukan Lundin pada tiga sumur, yakni dua sumur di Blok Baronang dan satu sumur di Blok Gurita, tak memuaskan. Situasi ini makin mendorong perusahaan ini hengkang dari Indonesia. Blok migas eks Lundin ini bakal jadi rebutan perusahaan migas lain.

Saat ini, ada beberapa perusahaan migas yang berminat untuk membeli blok Lundin. Mereka masih melakukan review data teknis di blok-blok tersebut dan belum ada pihak yang menawar. Direktur Operasi PT Saka Energi Indonesia Tumbur Parlindungan mengaku sudah melakukan pembicaraan dengan Lundin. "Namun belum ada keputusan di jajaran direksi untuk membeli aset-aset Lundin," tegasnya.

Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Susyanto mengaku belum mendengar rencana hengkangnya Lundin ini. "Hanya satu kontraktor, tidak bisa jadi patokan kalau iklim investasi migas buruk," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×