kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pasar stagnan dan strategi outsourcing


Jumat, 28 Oktober 2016 / 17:48 WIB
Pasar stagnan dan strategi outsourcing


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

JAKARTA. Sejatinya langkah PT Mazda Motor Indonesia (MMI) menyerahkan segala urusan distribusi ke Eurokars lebih dikarenakan keputusan bisnis yang dipengaruhi persoalan domestik di Indonesia. Terhitung mulai Februari tahun depan, MMI resmi mengalihkan semua kegiatan bisnis distribusi kendaraan dan suku cadang Mazda kepada PT Eurokars Motor Indonesia (EMI). Keputusan tersebut diumumkan MMI pada 14 Oktober lalu.

Langkah strategis yang diambil langsung Mazda Motor Corporation (MMC) Jepang, juga erat kaitannya dengan angka penjualan yang stagnan. Pada 2006, penjualan Mazda di Indonesia dikendalikan langsung oleh MNC. Cuma, pangsa pasarnya tetap tidak beranjak, karena masih dibawah satu persen. Merujuk data Gaikindo, penjualan Mazda hanya 6.012 unit pada 2010. Kala itu, Mazda mengempit pangsa pasar tak lebih dari 0,7% dari total penjualan mobil nasional.

Lima tahun berselang atau 2015, penjualan Mazda hanya 8.895 unit dengan pangsa 0,88%. Adapun sampai Agustus 2016, penjualan Mazda cuma 4.303 unit dengan pangsa pasar 0,62%. Padahal nilai ekonomis penjualan mobil sangat berdampak bagi APM dalam kelangsungan bisnisnya.

Sebagai gambaran, total penjualan mobil 2015 sebanyak 1.013.291 unit. Apabila dibagi dengan 25 anggota Gaikindo,  maka rata-rata penjualan APM sekitar 40.000 unit per tahun. Penjualan merek mobil dibawah naungan Astra, yakni Toyota, Daihatsu, Isuzu, Peugeot, UD Trucks mencapai 510.224 unit. Sedangkan, merek mobil kelompok non-Astra seperti Honda, Suzuki, Mitsubishi, dan Nissan membukukan penjualan 418.693 unit.

Sisanya, merek lain yang mencakup 16 anggota Gaikindo lainnya termasuk Mazda dan Ford hanya mampu melego  84.374 unit. Artinya, rata-rata penjual setiap merek mobil lainnya termasuk Mazda hanya 5.273 unit per tahun. Angka penjualan ini jauh dibawah rata-rata total penjualan mobil nasional yang mencapai 40.000 unit per tahun. Bandingkan dengan Nisan yang sudah memiliki pabrik perakitan di Indonesia dan sukses menjual Datsun Go sebanyak 25.108 unit.

Memang, Mazda sedari awal fokus menggarap line up dengan mengimpor produk baru yang mayoritas dari basis produksi di Jepang dan sebagian kecil dari Thailand. Mobil Mazda yang paling murah harganya hampir Rp 300 juta untuk Mazda 2.Tak pelak, dari sisi daya saing dan dan kejelian membaca arah pasar mobil di Indonesia yang terus berkembang dinamis, Mazda kedodoran. Kendati pangsa pasar yang dibidik Mazda berbeda, nyatanya tren mobil murah sedang digemari masyarakat ketika daya beli rontok akibat pelemahan ekonomi.

Celakanya, Mazda kudu impor mobil anyar karena tidak punya pabrik di dalam negeri, disamping rentan pada kurs dollar hingga kebijakan pajak dan bea masuk impor. Apalagi pemerintah terus berupaya menaikkan tarif-tarif impor mobil utuh atawa completely build up (CBU).

Tahun lalu, Kementerian Keuangan  merlis Peraturan Menteri Keuangan No. 132/2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor yang berlaku sejak Juli 2016. Dengan berlakunya kebijakan ini, tarif bea masuk CBU naik dari 40% menjadi 50%. Tapi Astrid Ariani Wijana, Senior Marketing Manager MMI menampik opsi menyerahkan urusan distribusi, suku cadang Mazda dan lainnya ke Eurocars lantaran tertekan kebijakan pemerintah yang membatasi impor mobil lewat bea masuk dan ketentuan penggunaan kandungan lokal. “Wah engak sama sekali,” katanya singkat.

Keputusan tersebut murni untuk memperkuat perkembangan Mazda di Indonesia. Pastinya, Astrid bilang aksi korporasi tersebut tidak akan berpengaruh apapun kepada pelanggan dan masyarakat. Sebab, penjualan jalan terus, spare part tetap terjamin dan garansi pun tidak putus. “Konsumen jangan khawatir, Mazda masih stay di Indonesia,” klaimnya.

Meski kebijakan pemerintah ingin semua pelaku usaha otomotif bukan sekadar pedagang atawa importir tapi memiliki basis produksi sendiri, pihak Mazda belum ada rencana mendirikan pabrik perakitan di Indonesia. Maklum dengan pangsa pasar yang kurang dari 1% terbilang berat dalam investasi jika harus membangun pabrik perakitan di Indonesia.

Pilihan rasionalnya untuk efisiensi adalah menyerahkan urusan distribusi, suku cadang, dan layanan purnajual ke pihak ketiga dengan kata lain srategi outsourcing. Berbeda dengan Ford atau Chevrolet yang kalah bersaing sehingga memutuskan hengkang, Mazda tidak mau begitu saja melepas pasar Indonesia yang sangat basah meski persaingan berdarah-darah. Apalagi dalam 10 tahun, MMI sudah meletakan fondasi bisnis yang cukup kuat, sehingga brand Mazda mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia meski segmenya spesifik di kelas menengah dan atas saja.

Keizo Okue, Presiden Direktur Mazda Motor Indonesia optimistis Eurokars bisa memperkuat merek Mazda di Indonesia. Dengan modal keahlian dan pengalaman bisnis mobil di Indonesia, Eurokars dapat memahami kebutuhan pasar sekaligus mempercepat peningkatan pelayanan pelanggan. “Saya yakin mereka akan lebih memperkuat merek Mazda di Indonesia,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×