kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Realisasi wajib tanam bawang putih sulit capai target


Rabu, 18 April 2018 / 21:20 WIB
Realisasi wajib tanam bawang putih sulit capai target
ILUSTRASI. PANEN BAWANG PUTIH


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Aturan wajib tanam untuk para importir yang diharapkan mampu menjadi solusi menggapai swasembada bawang putih pada tahun 2021, sepertinya masih jauh panggang dari api. Nyatanya, hingga saat ini, realisasi tanam untuk rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) komoditas bawang putih masih jauh dari target.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), dari volume Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) sebesar 570.050 ton, realisasi tanam bawang putih baru terealisasi 27,96%. Artinya, dari kewajiban tanam para importir dari Juli tahun 2017 hingga 2018 sebesar 4.750 hektare, yang terealisasi baru 1.330 hektare.

Menurut Dwi Andreas, Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), keterbatasan lahan menjadi kendala utama realisasi tanam bawang putih. Maklum, spesifikasi tanah tidak sembarang untuk bisa ditanami bawang putih. 

Dengan spesfikasi ketinggian lahan 700 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan curah hujan yang tidak terlalu tinggi, tidak banyak lahan di Indonesia yang cocok sebagai tempat betumbuhnya bawang putih. “Kalaupun ada, sudah penuh sesak dengan komoditas lain, seperti kentang atau wortel,” ujar Adreas, Rabu (18/4).

Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus, mengamin pendapat tersebut. Menurut dia, keterbatasan lahan pertanian selama ini membuat impor kerap menjadi pilihan, demi memenuhi permintaan pasar akan tanaman pangan maupun hortikultura, termasuk bawang putih.

Alasan keterbatasan lahan ini membuat ekstensifikasi untuk berbagai komoditas hampir mustahil dilakukan. Sebaliknya, kendati banyak pihak yang meragukan ketersediaan lahan, Kementerian Pertanian (Kementan) tetap optimistis dengan target swasembada. 

Mengutip data yang diolah oleh Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) Kementan yang menggunakan angka dasar tahun 2015, luas lahan potensial yang dianggap cocok untuk bawah putih di seluruh nusantara mencapai 629.000 hektare.

Lahan tersebut diklaim tersebar di 42 kabupaten/kota se-Indonesia. Dari angka tersebut, sebagian besar merupakan lahan yang masih kosong dengan angka 370.250 hektare.

Lahan potensial

Menurut Suwandi, Dirjen Hortikultura Kementan, sebenarnya lahan untuk bawang putih cukup banyak. Bahkan angka potensialnya mencapai lebih dari 200.000 hektare.

“Kebutuhannya untuk target hanya 60.000 hektare. Itu untuk konsumsi. Untuk pembibitan 15.000 hektare. Jadi, total kebutuhan cuma sekitar 75.000 hektare,” ungkapnya.

Dwi Andreas menimpali, di atas kertas, semuanya memang tampak baik. Namun, luasan lahan yang tampak mentereng tersebut justru jauh dari kata cocok untuk lahan bawang putih.

Karena pada dasarnya, selain sejumlah prasyarat di atas, harus diperhatikan pula faktor ketersediaan infrastruktur, kemampuan sumber daya manusia (SDM), serta kepastian pasar. 

Menurutnya, untuk bisa memenuhi persyaratan tersebut, lahan yang cocok untuk bawang putih hanyalah di Pulau Jawa dan Sumatra. Padahal, berdasarkan data Kementan, jumlah lahan potensial yang ada di Pulau Jawa dan Sumatra hanya mencapai 176.640 hektare. Itu sudah termasuk yang telah ditanami berbagai komoditas lain. 

Untuk lahan yang masih kosong, angkanya jauh lebih kecil, bertengger di 56.440 hektare. Singkatnya, lahan potensial yang diklaim oleh Kementan sebagai lahan yang cocok untuk bawang putih nyatanya memang kebanyakan berada di kawasan timur Indonesia. 

Bahkan lahan potensial terbesar tercatat berada di Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), yang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Angkanya mencapai 166.017 hektare. Andreas bilang, untuk penanaman di Timor Tengah Selatan sendiri pun hampir dipastikan mustahil. 

Tanpa melihat ideal atau tidak terkait faktor ketinggian lahan, kawasan perbatasan akan membuat infrastruktur untuk penanaman hingga pasar menjadi tidak jelas.

“Sudah jelas, kan, Timor Tengah Selatan nggak mungkin. Siapa yang mau beli di sana? Nanti kasusnya kayak jeruk di Kalimantan pas zaman Pak Harto. Tanam besar-besaran, nggak ada yang beli, akhirnya malah kebuang,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×