kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Atasi bahan baku, industri petrokimia harus terintegrasi dengan kilang minyak


Minggu, 24 Juli 2011 / 17:08 WIB
ILUSTRASI. Taman Safari Prigen sudah buka kembali dengan harga Rp 100.000 untuk weekday dan Rp 110.000 untuk weekend. Dok: Instagram Taman Safari Prigen.


Reporter: Sofyan Nur Hidayat | Editor: Dupla Kartini

BANDUNG. Guna mengatasi masalah bahan baku nafta, industri petrokimia di dalam negeri harus secepatnya terintegrasi dengan kilang minyak. Selain dapat menjamin pasokan bahan baku, pengeluaran juga lebih efisien.

Wakil Ketua Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia (INAplas) Suhat Miyarso mengatakan, semua industri pertokimia di negara maju terintegrasi dengan kilang minyak. Sedangkan di Indonesia, industri petrokimia dan kilang berjalan sendiri-sendiri. Kilang yang ada juga hanya fokus memproduksi bahan bakar minyak (BBM). "Setetespun, tidak ada kucuran nafta untuk industri petrokimia nasional," kata Suhat dalam acara Media Workshop tentang Prospek Industri Petrokimia Indonesia, akhir pekan lalu.

Selama ini industri petrokimia 100% menggantungkan pasokan bahan baku nafta hasil impor. Pada 2010, impor nafta mencapai 1,7 juta ton. Padahal menurutnya, mendapatkan nafta di dunia juga semakin sulit. Kontrak pembelian yang dilakukan tidak ada yang bisa dilakukan untuk jangka panjang. Ke depan industri petrokimia di Indonesia sangat rawan menghadapi kesulitan bahan baku.

Suhat bilang, integrasi industri petrokimia dengan kilang minyak hanya butuh komitmen dari pemerintah. Sayangnya, sejauh ini belum ada pemimpin di Indonesia yang mempunyai kemauan politik mewujudkan impian itu. Misalnya, kilang baru yang akan dibangun Pertamina di Cilacap, semula direncanakan untuk memproduksi BBM, juga memasok nafta untuk industri petrokimia. Tapi belakangan, kilang minyak itu diputuskan hanya fokus untuk BBM.

Selain mengimpor nafta, Suhat menyebut, Indonesia juga mengimpor minyak mentah untuk kilang minyak. Untuk kebutuhan BBM saja, impor yang dilakukan mencapai 550.000 barel per hari dari total kebutuhan 1,5 juta barel.

Lanjut Suhat, untuk bisa mengatasi bahan baku nafta bagi industri petrokimia sekaligus BBM, hanya bisa dilakukan jika Indonesia mampu membangun 3 kilang minyak baru berkapasitas 300.000 barel per hari pada 2015 sesuai program pemerintah. "Kilang baru itu nantinya diintegrasikan dengan industri petrokimia," ujarnya.

Sebagai informasi, industri hulu petrokimia mengolah nafta menjadi berbagai produk turunan di antaranya polietilina dan polipropilena yang dipergunakan untuk produksi plastik. Kebutuhan plastik dalam negeri terus meningkat mengikuti pertumbuhan industri makanan dan minuman yang tahun ini diperkirakan bertumbuh 13% hingga 15%.

Direktur Kimia Dasar Kementerian Perindustrian Tony Tanduk mengatakan, penguatan struktur industri petrokimia perlu diintegrasikan dengan pendirian kilang minyak di sentra produksi untuk menghasilkan nafta dan kondesat. Namun, untuk dapat menjamin pasokan bahan baku baik gas, nafta dan kondesat dalam jangka panjang masih butuh waktu lama. "Butuh sekitar 50 tahun untuk membangun industri petrokimia yang tangguh," ujarnya.

Saat ini, pemerintah sedang mencari alternatif solusi bahan baku industri petrokimia dengan berbasis gas. Pemerintah mendorong pendirian unit gasifikasi batubara kalori rendah di Sumatera sebagai solusi terhadap kelanggkaan pasokan bahan baku bagi industri petrokimia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×