kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bisnis penjualan makanan cepat saji turun 5%-10%


Kamis, 03 September 2015 / 09:12 WIB
Bisnis penjualan makanan cepat saji turun 5%-10%


Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Ekonomi nan lesu mulai mengguncangkan bisnis makanan dan minuman. Kali ini, industri makanan siap saji mengalami tekanan penjualan karena daya beli konsumen turun akibat dari perlambatan ekonomi. Gambarannya, konsumen lebih mengutamakan mengkonsumsi barang pokok untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari daripada mengkonsumsi makanan di restoran. Maklum, harga barang pokok sudah mulai naik.

"Terjadi penurunan penjualan sekitar 5%-10%," kata Suzywati Alamindro, Chief Operational Officer PT Pendekar Bodoh, kepada KONTAN, kemarin malam. Awalnya, Pendekar Bodoh pemilik restoran D'Cost Seafood, menilai penurunan penjualan makanan karena faktor musiman seperti usai Lebaran konsumen akan jarang makan di restoran. Ternyata, ekonomi yang lesu cukup mendorong penurunan konsumen untuk makan di luar rumah.

D'Cost sendiri memiliki strategi untuk meningkatkan penjualan. Pertama, berinovasi sajian makanan. Kedua, menambah jumlah gerai. Misalnya, perusahaan akan menambah dua gerai setiap bulan untuk menjaring konsumen dari berbagai wilayah. D'cost mengincar lokasi baru yang memiliki tingkat keramaian tinggi serta berada di dalam pusat perbelanjaan.

Dengan asumsi penambahan dua gerai setiap bulan maka D'cost akan memiliki 12 gerai baru di semester II/2015 dari realisasi pendirian 9 gerai di semester I/2015. Artinya, perusahaan akan memiliki sekitar 85 gerai di akhir tahun 2015. "Harapannya, penambahan gerai ini akan meningkatkan penjualan makanan di semester II," tambahnya.

Sependapat, Kristanto, Direktur Keuangan PT Pioneerindo Gourmet International Tbk menuturkan, pihaknya juga mengalami penurunan penjualan karena daya beli konsumen turun. Langkah perusahaan memperbaiki penjualan adalah dengan menambah jumlah gerai baru di lokasi strategis. Sayangnya, ia enggan menyampaikan berapa jumlah gerai yang akan berdiri di tahun ini.

Yang jelas perusahaan optimis akan meraih untung di akhir tahun 2015. Asal tahu saja, kinerja perusahaan anjlok di semester I/2015. Misalnya saja, pendapatan Pioneerindo Gourmet turun 3,74% menjadi Rp 180,26 miliar per semester I/2015 dibandingkan posisi Rp 187,42 miliar per semester I/2014. Kemudian perusahaan menanggung beban penjualan sebesar Rp 96,17 miliar.

Akibatnya, laba bruto turun 7,2% menjadi Rp 116,51 miliar per semester I/2015 dibandingkan posisi Rp 125,45 miliar per semester I/2014. Laba bruto yang turun dan beban penjualan uang besar membuat perusahaan mengalami kerugian sebesar Rp 17,51 miliar per semester I/2015. Padahal pemilik gerai California Fried Chicken (CFC) ini masih meraih untung Rp 27 miliar pada semester I/2014.

Sebelumnya, Justinus Daliman Juwono, Direktur PT Fast Food Indonesia Tbk mengklaim, penjualan makanan siap saji berpotensi naik dengan adanya musim liburan di akhir tahun seperti Natal dan Tahun Baru serta momen lain yang mampu mendorong penjualan. Meskipun, perusahaan pemilik gerai Kentucky Fried Chicken (KFC) mengalami perlambatan pertumbuhan 4,5% menjadi Rp 2,09 triliun per semester I/2015.

Tidak hanya daya beli konsumen yang turun, para pebisnis restoran cepat saji ini juga mengalami dampak pelemahanan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) karena perusahaan akan mengalami kenaikan bahan baku yang berasal dari impor seperti bumbu masakan.

Industri kertas makanan ikut susut

Tidak hanya industri makanan, sejumlah bisnis yang terkait dengan industri makanan ikut terpukul. Salah satunya industri kertas makanan. Catur Jatiwaluyo, Direktur PT Paperocks Indonesia menjelaskan, pihaknya mengalami penurunan penjualan produsen kertas food grade, karena para pemain bisnis restoran memangkas pembelian kertas makanan yang harganya mulai naik 20% diikuti penurunan daya beli. "Ada penurunan penjualan kertas food grade sebesar 15%-20% kepada perusahaan fast food kelas kakap," jelasnya.

Sedangkan, restoran berkapasitas kecil memilih tidak menggunakan kertas food grade karena mereka beralih ke plastik dan styrofoam yang memiliki harga lebih murah. Alasan perusahaan mengerek harga kertas food grade karena hampir 70% bahan baku berasal dari impor. Terlebih, Indonesia belum memiliki hutan industri yang dapat memproduksi bahan baku kertas dari dalam negeri.

Selain itu, klien Paperocks Indonesia seperti KFC, Dominos Pizza, Burger King dan Carl's Jr adalah perusahan yang berasal dari luar negeri sehingga mereka mewajibkan untuk menggunakan produk kertas yang memiliki kualitas tinggi seperti aman untuk makanan dan tidak boleh dari hutan aman. "Jadi mau tidak mau kami harus impor," tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×