kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Harga logam industri hanya menguat tipis Q1


Rabu, 05 April 2017 / 05:30 WIB
Harga logam industri hanya menguat tipis Q1


Reporter: Namira Daufina, RR Putri Werdiningsih | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Sepanjang kuartal satu 2017 performa harga logam industri terbilang stagnan. Kenaikan yang didulang tembaga dan nikel pun terhitung tipis. Meski demikian, analis optimistis, hingga akhir kuartal kedua 2017 nanti, harga logam industri masih berpeluang mendulang kenaikan.

NIKEL
Mengutip Bloomberg, Jumat (31/3) harga nikel kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange tergerus 1,08% ke level US$ 10.025 per metrik ton dibanding hari sebelumnya. Namun sejak akhir tahun 2016 harga nikel tercatat naik tipis 0,04%.

Wahyu Tribowo Laksono, Analis PT Central Capital Futures menjelaskan kenaikan tipis harga nikel sejak akhir tahun 2016 lalu terjadi karena masih tingginya kekhawatiran pasar mengenai gangguan produksi di Filipina. Rencana pemerintah Filipina untuk memberhentikan produksi dari produsen tambang nikel yang tidak sesuai dengan aturan lingkungan yang ada membuat pasar menduga akan terjadi defisit pasokan global.

Bahkan Macquarie memperkirakan penutupan tambang-tambang di Nikel akan menghambat ekspor Filipina ke China sebanyak 70.000 ton sepanjang tahun 2017 ini. Memang sampai akhir Februari 2017 lalu pemerintah Filipina sudah menutup 28 dari total 41 produsen nikel. Faktor ini pula yang pada 20 Februari 2017 lalu harga nikel berhasil mencatatkan kenaikan ke level tertingginya sejak Desember 2016 di US$ 11.150 per metrik ton.

“Jadi wajar terjadi kenaikan terbatas. Hanya saja kenaikan suku bunga The Fed sebesar 25 bps pada FOMC Maret 2017 lalu sempat menjadi batu ganjalan bagi pergerakan harga,” jelas Wahyu. Belum lagi ditambah dengan penerbitan artikel 50 pemisahan antara Britania Raya dan Uni Eropa memicu kecemasan global yang meningkat. Efeknya pelaku pasar menghindari aset berisiko seperti komoditas termasuk nikel.

Meski demikian, memandang pergerakan sepanjang kuartal dua 2017 ini Wahyu menilai kans harga nikel untuk pertahankan kenaikan tetap terbuka. Walau memang rentangnya akan tetap sempit.

“Bisa bergerak di kisaran US$ 9.000 – US$ 12.000 per metrik ton,” tebak Wahyu. Nantinya keputusan The Fed pada FOMC Juni 2017 akan ikut menentukan. Jika suku bunga naik lagi bukan tidak mungkin level terendah sejak Juni 2016 yang dicapai pada 26 Januari 2017 lalu di US$ 9.410 tersentuh lagi.

Apalagi pemerintah Indonesia melonggarkan kebijakan ekspornya. Di saat yang bersamaan Pemerintah Filipina memberikan izin ekspor nikel kepada 8 tambang yang sebelumnya dilarang untuk mengurangi kelebihan pasokan pada stok yang ada. “Tapi kalau data manufaktur China, Eropa dan AS terus membaik seperti bulan-bulan sebelumnya bukan tidak mungkin harga kembali naik,” kata Wahyu.

Suntikan harapan dari masih tingginya permintaan dan belum berakhirnya penutupan dan penahanan proyek tambang di Filipina akan menjag pergerakan naik harga. Macquarie sendiri menduga sepanjang tahun 2017 ini akan terjadi defisit nikel global sebesar 40.000 ton. Jika benar terjadi maka tren bullish harga akan terjaga walau dalam rentang terbatas mengingat beragam katalis yang saling tarik menarik di sisi fundamental.

TEMBAGA
Mengutip Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (31/3) tembaga kontrak pengiriman 3 bulan di London Metal Exchange (LME) terkoreksi 1,99% ke level US$ 5.837,5 metrik ton dibanding sehari sebelumnya. Meski melemah, tetapi harganya sudah menunjukkan perbaikan sejak mencapai level terendahnya sejak Desember pada 3 Januari lalu di level US$ 5.500 per metrik ton. Sejak akhir tahun lalu, harga tembaga sudah mencatatkan penguatan sekitar 5,46%.

Ibrahim, Direktur PT Garuda Berjangka mengatakan selama kuartal I tembaga memang cukup disokong beberapa sentimen positif. Mulai dari data manufaktur China yang terus mengalami perbaikan, reformasi tambang di China hingga terganggunya pasokan di tambang Escondida, Chili dan Grasberg, Indonesia.

“Di bulan Januari – Februari terlihat harganya cukup bagus, tapi memasuki Maret mulai mengalami koreksi,” paparnya.

Menurutnya pelemahan yang tersebut disebabkan karena mulai merebaknya rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS. Walaupun akhirnya setelah The Fed benar-benar menaikkan suku bunganya justru indeks dollar yang mengalami pelemahan dan harga komoditas menguat tetapi bulan tersebut harga tembaga cukup melemah.

Sampai penghujung kuartal I kemarin harga tembaga masih tetap ditutup terkoreksi. Kata Ibrahim perbaikan data ekonomi Amerika Serikat (AS) yang menekan harga. Salah satunya data pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2016 yang direvisi semakin positif dari 1,9% ke level 2%. Pencapaian tersebut sempat melambungkan posisi dollar AS dan melemahkan harga tembaga.“Hanya saja koreksi ini tak akan berlangsung lama,” tandasnya.

Dalam waktu dekat diperkirakan tembaga akan kembali mengalami rebound seiring ekonomi China yang terus menunjukkan trend perbaikan. Bahkan selama kuartal II dan kuartal III nanti, harga tembaga akan menembus level US$ 6.500 per metrik ton.

Ibrahim tetap menyakini program pengembangan infrastruktur Presiden AS Donald Trump bisa menjadi sentimen positif yang mengerek harga. Meski beberapa waktu lalu rencana revisi UU Kesehatan sempat ditolak Konggres, menurutnya tidak semua rencana akan berakhir kandas. Jika benar terwujud anggaran infrastruktur disetujui sebesar US$ 1 triliun maka permintaan komoditas industri termasuk tembaga pasti akan meningkat.

Walaupun saat ini pergerakan harga tembaga masih dibayangi pulihnya produksi di tambang Escondida dan Grasberg, tetapi hal tersebut tidak akan berpengaruh banyak. Ibrahim beralasan saat dua tambang tembaga terbesar itu terkendala operasinya di pasar sudah terjadi kelebihan pasokan.“Kalau mereka beroperasi kembali bisa makin over supply lagi,” tutupnya.

TIMAH
Mengutip Bloomberg, Jumat (31/3) harga timah kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange naik 0,14% ke level US$ 20.175 per metrik ton dibanding hari sebelumnya. Hanya saja sejak akhir tahun 2016 harga timah sudah terpuruk 4,49%.

Wahyu Tribowo Laksono, Analis PT Central Capital Futures mengungkapkan pergerakan timah memang berbeda dari komoditas logam industri lainnya. Catatan buruk harga timah datang setelah PT Timah Tbk berencana untuk meningkatkan ekspornya sepanjang tahun 2017 ini. PT Timah menargetkan ekspor naik menjadi 30.000 ton di tahun 2017 ini dari tahun sebelumnya yang hanya 24.000 ton.

Sampai Januari 2017 saja ekspor timah Indonesia naik 180% menjadi 6.964 ton dibanding periode yang sama tahun 2016. Ditambah lagi memasuki bulan Maret 2017 stok timah di LME naik menjadi 5.415 ton.

“Kekhawatiran ini datang bersamaan dengan ketidakpastian akan pencabutan pajak ekspor China sehingga ada peluang terjadi kelebihan pasokan,” tutur Wahyu. Sampai saat ini memang China tidak memberikan kepastian mengenai pencabutan pajak ekspor yang sudah berlaku sejak 2008 silam. Apabila benar akan dicabut maka ekspor akan semakin membanjiri pasar global.

Hal ini pula yang mengakibatkan harga timah terpuruk ke level terendahnya sejak Agustus 2016 lalu di level US$ 18.780 per metrik ton pada 23 Februari 2017 lalu. Hanya saja memandang proyeksi pergerakan timah ke depannya, Wahyu masih menyelipkan harapan positif. “Ada peluang harga naik jika ternyata pencabutan pajak ekspor China tidak jadi diberlakukan dan permintaan tertopang naik,” imbuh Wahyu.

Kenaikan permintaan diharapkan bisa terjadi dari sisi pertumbuhan industri yang terus berlangsung di China, AS dan Eropa sejak awal tahun 2017 lalu. Terutama dari sisi elektronik. Dilaporkan industri elektronik memproduksi smartphone sebanyak 1,4 miliar unit dan diprediksi naik 4,5% tahun 2017 ini sehingga ada peluang kenaikan permintaan timah di masa mendatang.

“Maka bisa saja harga naik ke US$ 19.000 – US$ 22.000 per metrik ton hingga akhir kuartal dua 2017 ini,” tebak Wahyu. Apalagi BMI Research memprediksi hingga tahun 2021 akan terjadi defisit hingga 12.600 ton atau sepanjang 2017 – 2021 sebesar 6.400 ton per tahunnya.

Tentunya jika sesuai proyeksi maka harga timah berpotensi mendulang kenaikan ke level tertingginya sejak Agustus 2016 lalu di level US$ 21.150 per metrik ton pada 10 Januari 2017 lalu. Saat itu pemerintah China memutuskan untuk memangkas produksinya sebesar 50% dibanding total produksi 2016 lalu. “Tentu dengan mempertimbangkan kenaikan The Fed rate, hanya saja fundamental bisa membawa harga terus terjaga dari kejatuhan lebih dalam,” tutup Wahyu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×