kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45933,51   -30,21   -3.13%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jangan Cuma Andalkan Cukai Rokok


Senin, 06 November 2017 / 14:35 WIB
Jangan Cuma Andalkan Cukai Rokok


Reporter: Lamgiat Siringoringo | Editor: Mesti Sinaga

Pemerintah kembali berencana menaikkan tarif cukai rokok. Kenaikan cukai yang akan berlaku per 1 Januari 2018 itu sebesar 10,04%. Ada tiga alasan pemerintah mengerek cukai rokok.

Masing-masing adalah kesehatan, pengendalian konsumsi rokok, serta mencegah peredaran rokok ilegal. Bagi pelaku industri tembakau, kenaikan cukai merupakan alarm di saat kondisi pasar sedang memburuk.

Pemerintah memastikan kenaikan cukai rokok di tahun 2018. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan, kenaikan tarif cukai rokok itu sebesar 10,04%. Kenaikan cukai rokok ini akan berlaku 1 Januari 2018. “Karena itu sudah disetujui presiden, peraturan menteri keuangannya akan keluar segera,” kata Sri Mulyani.

Sontak, keputusan pemerintah ini membuat kecewa berbagai stakeholder industri tembakau. Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisino mengatakan, keputusan pemerintah tidak menimbang kondisi ekonomi saat ini. “Kenaikan cukai akan memukul sektor tembakau,” ujarnya.

Kenaikan cukai rokok yang melebihi kenaikan inflasi diperkirakan bakalan membuat volume penjualan rokok akan terus berturun. Artinya, target penerimaan cukai dari rokok juga bakalan rendah. Pemerintah perlu mencari sumber penerimaan negara lain.

Untuk mengetahui kondisi industri tembakau saat ini, wartawan Tabloid KONTAN Lamgiat Siringoringo mewawancarai Hananto. Berikut nukilannya:

KONTAN: Bagaimana Anda melihat rencana kenaikan cukai rokok hingga 10.04% di awal tahun depan?
HANANTO:
Untuk saat ini AMTI belum bisa memberi tanggapan resmi karena PMK yang mengatur tarif secara detail belum keluar. Namun, kalau memang benar kenaikannya hingga 10,04%, kami kecewa.

KONTAN: Jadi, AMTI masih bersikukuh menolak kenaikan cukai, ya?
HANANTO:
Pada prinsipnya sebenarnya AMTI mendukung kebijakan cukai yang rasional, berimbang, serta mempertimbangkan kelangsungan bisnis industri hasil tembakau.

Namun kami sangat menolak kenaikan cukai yang eksesif. Kenaikan cukai rata-rata tertimbang sebesar 10,04% itu terlalu besar untuk kondisi saat ini. Kenaikan tersebut akan semakin memukul keberadaan sektor tembakau.

KONTAN: Bagaimana kondisi terkini industri tembakau?
HANANTO:
Faktanya, industri tembakau merupakan industri padat karya yang melibatkan jutaan orang dari hulu hingga hilir. Di samping itu, industri ini sebagai sumber utama penerimaan cukai negara dan saat ini industri sudah mengalami penurunan volume penjualan secara terus menerus dalam empat tahun. Terakhir pada tahun 2016 mencapai 342 miliar batang, turun dari 348 miliar batang di tahun 2015.  

KONTAN: Apakah para pebisnis sudah mengantisipasi kemungkinan kembali turunnya penjualan di tahun ini?
HANANTO:
Tahun ini memang masih berat dengan terjadinya pelambatan ekonomi dan daya beli masyarakat yang memang masih rendah. Artinya malahan tahun 2017 ini berat bagi industri rokok. Tahun ini baru tercapai 8 miliar batang per bulan Juli 2017.

KONTAN: Kenaikan cukai disebutkan pemerintah memang harus tiap tahun?
HANANTO:
Iya, karena itu sebenarnya kami berharap tahun 2018 tak ada lagi kenaikan cukai rokok. Asumsi ini melihat kondisi hingga kini yang masih terus memukul industri rokok.

Kenaikan harga dan cukai rokok harus dipikirkan secara serius, karena menyangkut industri strategis yang menyumbang penerimaan cukup besar, dan menyerap banyak tenaga kerja.

KONTAN: Rokok menjadi salah satu andalan sumber penerimaan negara, ya?
HANANTO:
Selama ini, industri hasil tembakau kerap menjadi sasaran, karena menghasilkan cukai dengan nilai yang signifikan. Cukai produk tembakau merupakan penerimaan pajak terbesar ketiga setelah pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.

Pada 2015, pembayaran dari industri hasil tembakau mencapai Rp 173,9 triliun, atau setara dengan 16,5% dari total penerimaan pajak. Jumlah itu dalam bentuk cukai, pajak daerah, dan pajak pertambahan nilai.

KONTAN: Bagaimana sumbangan cukai rokok untuk penerimaan negara tahun ini?
HANANTO:
Sebagai gambaran, tahun ini target cukai rokok juga tidak akan tercapai. Artinya, memang industri rokok sudah tidak bisa diharapkan untuk terus menaikkan penerimaan negara. Karena kondisinya sudah jauh berbeda dengan perekonomian dan daya beli masyarakat sekarang.

KONTAN: Artinya, pemerintah memang seharusnya tidak membebani penerimaan negara ke industri rokok?
HANANTO:
Pemerintah seharusnya jangan hanya bergantung pada cukai rokok sebagai sumber penerimaan cukai, terutama di tengah lesunya kondisi industri saat ini. Mencari alternatif penerimaan lewat penambahan barang kena cukai memang diperlukan.

KONTAN: Sebagai gambaran bagaimana dampaknya kenaikan cukai rokok di tahun-tahun sebelumnya?
HANANTO:
Ya, memang terbebani. Kami berharap industri rokok jangan terus menerus dibebani dengan kenaikan cukai yang terlalu tinggi. Misalnya seperti yang terjadi di tahun 2016 yang kenaikannya hingga 15%.

Saat ini beban pajak sudah mencapai 60% harga rokok termasuk pajak rokok dan PPN Hasil Tembakau. Padahal rantai industri tembakau panjang, bukan hanya pabrikan rokok saja.

Saat industri mengalami penurunan, yang akan terkena dampaknya bukan cuma pabrikan, tapi juga pekerja di pabrik rokok, petani cengkeh, dan petani tembakau yang totalnya mencapai enam juta orang.

Kebijakan cukai seharusnya bersifat jangka panjang, sehingga kepastian usaha lebih terjamin dan pelaku industri tidak was-was setiap tahunnya di saat menjelang kenaikan cukai.

KONTAN: Pemerintah menyebutkan kenaikan cukai ini untuk menekan rokok ilegal?
HANANTO:
Permasalahan rokok ilegal harus dilihat secara holistik. Di Indonesia, dengan tren semakin ketatnya regulasi di bidang industri hasil tembakai, juga menunjukkan peningkatan rokok ilegal.

Studi dari Universitas Gajah Mada menunjukkan pada 2014 peredaran rokok ilegal mencapai 11% dari total produksi di sepanjang tahun tersebut. Ini suatu jumlah yang tidak sedikit.

Hingga kini trennya akan semakin meningkat karena ada tren semakin ketatnya regulasi. Sebagai indikator penerimaan cukai agak seret. Nah, apalagi kenaikan tarif cukai yang terus menerus naik.

Kenaikan cukai pada 2016, jauh melebihi angka inflasi. Regulasi lainnya, tren daerah berbondong-bondong membuat kawasan tanpa rokok sehingga bisa berdampak mengurangi jumlah peredaran rokok.

Dengan tingginya tarif cukai, kemampuan masyarakat membeli rokok legal otomatis berkurang karena harganya naik. Pangsa pasar yang hilang itu kemudian diambil perusahaan rokok dengan memproduksi rokok ilegal sehingga merugikan perusahaan rokok legal dan negara.

Makannya pemerintah juga perlu fokus dalam memberantas rokok illegal, dukungan pemerintah terhadap industri legal juga bisa diwujudkan dengan lebih ekstensif melakukan pemberantasan rokok ilegal, supaya kondisi industri lebih kondusif

KONTAN: Bukannya pemerintah kan memang terus memberantas rokok ilegal karena membuat penerimaan cukai menurun?
HANANTO:
Pemerintah perlu lebih lagi untuk memberantas. Apalagi kan sudah ada dana dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Dana DBHCT dan pajak rokok seharusnya juga bisa dioptimalkan untuk membantu usaha pemberantasan rokok ilegal.

KONTAN: Memang cukup banyak, ya kebijakan di tingkat pemerintah daerah yang membatasi rokok?
HANANTO:
Dari 258  peraturan daerah kawasan tanpa rokok seluruh kota atau kabupaten se Indonesia, ada 60% yang bersifat eksesif. Artinya, perda tersebut tidak bisa dilaksanakan di lapangan karena pasal-pasalnya terlalu memberatkan bagi masyarakat. Dan ini kian memberatkan industri rokok.

KONTAN: Bagaimana kondisi petani tembakau? Pemerintah sempat menyebutkan agar petani bisa mengganti tanaman yang diusahakan dengan yang nontembakau?
HANANTO:
Undang-Undang Perkebunan Nomor 39 tahun 2014 menyatakan tembakau merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis. Fakta sampai dengan hari ini tembakau masih memberikan kontribusi dalam perekonomian, bermakna dalam membangun jaringan sosial dan bahkan menjadi bargain dari kultur bangsa Indonesia.

Indonesia sebagai negara produsen tembakau terbesar kelima setelah China, Brasil, India dan Amerika Serikat, memiliki pabrik rokok dengan jumlah terbanyak di dunia.

Artinya Indonesia adalah salah satu pemasok dan potensi pasar tembakau terbesar di dunia. Petani tembakau sampai dengan hari ini merupakan petani mandiri, yang tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah, bahkan untuk mencari akses kredit saja susah.

KONTAN: Apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk industri tembakau?
HANANTO:
Harapan yang ditunggu dari pemerintah untuk mendorong kemitraan antara petani dengan mitra, baik itu dengan pemasok maupun dengan pabrikan produk tembakau.

Hal ini guna memotong rantai penjualan daun tembakau yang cukup panjang dengan menjamin penyerapan produksi dan kepastian harga sesuai kualitas, sekaligus mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas tembakau karena adanya bimbingan dan fasilitas dari pihak mitra.

Hananto Wibisino, Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI)
Riwayat pendidikan:
- S1 Teknologi Pertanian Yogyakarta

Riwayat pekerjaan:
- Aktivis Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia   
- Ketua Media Center Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia         

* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 23 Oktober 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Jangan Cuma Andalkan Cukai Rokok"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




Kontan Academy
Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet Using Psychology-Based Sales Tactic to Increase Omzet

[X]
×