kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45925,22   -10,30   -1.10%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Melihat dampak pelemahan rupiah terhadap emiten di sektor poultry


Minggu, 05 Agustus 2018 / 19:37 WIB
Melihat dampak pelemahan rupiah terhadap emiten di sektor poultry
ILUSTRASI. Proses pemotongan ayam di PT. Ciomas Adisatwa (JAPFA Group)


Reporter: Dimas Andi | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Selain kenaikan harga ayam broiler dan Day Old Chicken (DOC), sentimen pelemahan rupiah juga menjadi perhatian utama bagi emiten-emiten sektor perunggasan atau poultry. Hal ini mengingat sebagian pakan ternak yang dimiliki emiten tersebut diimpor dari luar negeri.

Analis Danareksa Sekuritas, Adeline Solaiman menyampaikan, kenaikan harga ayam broiler dan DOC tak hanya menguntungkan dari sisi pendapatan dan laba, melainkan juga mengurangi dampak pelemahan rupiah terhadap emiten-emiten poultry. “Seandainya harga ayam tidak naik, sedangkan rupiah melemah, margin perusahaan jadi jelek,” katanya, Jumat (3/8).

Lebih lanjut, 35% dari Cost of Good Sold (COGS) emiten poultry biasanya berupa bungkil kedelai yang diimpor dari Amerika Selatan. Ketika dollar AS melonjak, otomatis beban pengeluaran perusahaan akan membengkak.

Analis BCA Sekuritas, Johanes Prasetia menambahkan, kondisi semakin pelik bagi emiten poultry jika di saat yang sama harga bungkil kedelai juga ikut mengalami kenaikan. Ia pun menyebut, per Mei 2018, harga bungkil kedelai sempat meningkat 28,9% (ytd) kemudian melemah pada awal Agustus 2018, sehingga pertumbuhan harganya hanya 6,8% (ytd).

Analis RHB Sekuritas, Michael Wilson Setjoadi bilang, larangan impor jagung sebagai pakan ternak bagi emiten poultry yang diberlakukan sejak 2017 silam ternyata membawa berkah. Pasalnya, emiten tersebut kini tak lagi berurusan dengan beban kurs ketika membeli jagung. Apalagi, porsi jagung dalam COGS perusahaan umumnya mencapai 50%.

Namun, emiten-emiten poultry tetap harus mewaspadai tren kenaikan harga jagung lokal. Jika di kuartal pertama harga jagung ada di kisaran Rp 3.500 per kilogram, maka di awal semester dua naik menjadi sekitar Rp 4.500 per kilogram. “Kenaikan tersebut bisa mempengaruhi margin emiten di semester kedua,” tuturnya, Jumat (3/8).

Michael sendiri menjagokan CPIN sebagai emiten poultry yang berpeluang memperoleh kinerja mentereng hingga tutup tahun nanti. Ia menyarankan beli dengan target Rp 5.000 per saham.

Di sisi lain, Adeline memfavoritkan JPFA dengan rekomendasi beli pada target Rp 2.600 per saham.

Adapun Johanes menyukai JPFA dan CPIN. Keduanya sama-sama direkomendasikan beli dengan target Rp 3.300 per saham untuk JPFA dan Rp 6.000 per saham untuk CPIN.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×