kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pajak e-commerce terjadi jika gandeng negara lain


Selasa, 22 Agustus 2017 / 19:11 WIB
Pajak e-commerce terjadi jika gandeng negara lain


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Dessy Rosalina

KONTAN.CO.ID - Kementerian Keuangan (Kemkeu) tengah melakukan kajian pengenaan pajak untuk transaksi perdagangan secara online atau e-commerce. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, transaksi perdagangan secara digital sendiri sebenarnya bisa lebih mudah terdeteksi dibandingkan transaksi secara konvensional.

Namun demikian, permasalahannya saat ini ada pada transaksi digital yang dilakukan antar negara. “Pemiliknya di mana, jualnya di mana, pajaknya gimana? Bagian penerimaan ini akan jadi bagian yang dinamis," ujar Sri Mulyani di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (21/8).

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, untuk memajaki e-commerce dengan adil, Indonesia perlu belajar dari negara lain. Salah satu cara yang efektif menurutnya dilakukan di Uni Eropa, yaitu menerapkan origin principle untuk PPN.

Pasalnya, dengan adanya transaksi e-commerce, barang tidak lagi selalu berwujud fisik sehingga kategorinya terbagi menjadi tangible dan intangible, Misalnya buku fisik dan e-book. Meski demikian, prinsipnya keduanya dikenai pajak, dlm hal ini PPN atas penjualan barang, dan PPh kalau ada pendapatan dan subyeknya terkaver Undang-Undang (UU) Indonesia.

“Dipungut di negara yang menjual, lalu sharing dengan negara tujuan. Di sini menunjukkan, memajaki e-commerce harus bekerjasama, regionalisme jadi penting. Ada paradoks "coopetition". Tetap berkompetisi agar tidak ketinggalan, tapi harus bekerjasama agar mendapat hasil optimal, ” katanya kepada KONTAN, Selasa (22/8).

Menurut Yustinus, bila pemerintah ingin ada level of playing field antara model bisnis konvensional dan e-commerce, maka harus ada tahapan-tahapan yang jelas menuju ke sana. Jangan kemudian ada yang tidak bisa dikenai pajak karena akan menimbulkan ketidakadilan.

“Tapi harus dibedakan antara kebijakan dan administrasinya. Yang pertama soal keadilan memajaki, yang kedua cara memajaki yang efektif,” ujarnya. Dengan demikian, menurut Yustinus, yang penting untuk dilakukan pemerintah adalah dorong semua pelaku terdaftar.

Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo mengatakan, saat ini hal tersebut masih dilakukan pengkajian secara mendalam terkait model dan cara transaksi seperti apa yang akan dikenakan pajak.

Ditjen Pajak sendiri telah memahami adanya pola pergeseran transaksi masyarakat dari konvensional ke online. "Semoga tidak terlalu lama kami bisa mendefinisikan model transaksi dan bagaimana memajaki," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×