kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Petani sawit tolak pungutan US$ 50 per ton


Selasa, 31 Maret 2015 / 13:12 WIB
Petani sawit tolak pungutan US$ 50 per ton
ILUSTRASI. Yuk simak cara membersihkan permukaan meja marmer dan lantai marmer serta produk apa yang aman!


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Rencana pemerintah untuk mengenakan pungutan sebesar US$ 50 per ton untuk ekspor Crude Palm Oil (CPO) dengan harga pembelian di bawah US$ 750 per ton ditentang para petani sawit di Indonesia. Petani sawit yang menguasai 44% lahan sawit atau setara 4 juta hektare (ha) dari total 10,8 juta ha perkebunan sawit di Indonesia menilai wacana tersebut sangat merugikan karena berpotensi menggerus harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di tingkat petani.

Jika aturan ini diberlakukan, maka harga TBS di tingkat petani berpotensi turun sekitar 20% menjadi tinggal Rp 800 hingga Rp 900 per kg. Sebab pengusaha tidak mau menanggung kerugian dengan membebankan kerugian itu kepada petani. Sebagai perbandingan harga TBS di tingkat pabrik saat ini sebesar Rp 1.680 per kg dan harga TBS di tingkat petani saat ini sekitar Rp 1.100 - Rp 1.400 per kg.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad mengatakan setelah menggelar rapat pada Jumat (27/3) dengan anggota asosiasi petani sawit Indonesia, pihaknya sepakat mengusulkan harga pungutan US$ 50 per ton itu diturunkan menjadi setengahnya yakni US$ 25 per ton saja. Usulan itu didasarkan pada kekhawatiran para petani sawit akan membayar dua kali pungutan bila harga CPO di atas US$ 750 per ton.

"Selain membayar pungutan, kami juga harus membayar Bea Keluar (BK) bila harga ekpor CPO di atas US$ 750 per ton," keluh Asmar kepada KONTAN, Selasa (31/3).

Sementara pungutan untuk produk turunan CPO atau hilirisasi, Apkasindo tidak keberatan dikenakan pungutan US$ 30 per ton. Apakasindo sepakat bila pemerintah ingin mengembangkan biodiesel untuk hilirisasi. Sebab dengan pengembangan industri hilirisasi dalam negeri, maka ekspor CPO akan berkurang, dan akan turut mendongkrak harga CPO yang saat ini tengah lesu di pasar global.

Selain menolak pungutan, Apkasindo juga menolak wacana penurunan threshold atau batas bawah pengenaan BK. Sebab hal itu juga berpotensi membuat harga TBS ikut tergerus. Ia mengatakan, jangan sampai pemerintah mengorbankan petani hanya lantaran dalam empat bulan terakhir tidak mendapatkan BK dari ekspor CPO karena harga ekspor CPO saat ini hanya US$ 625 per ton.

Penolakan ini, lanjut Asmar, telah dikirimkan melalui surat resmi kepada pemerintah yakni ke Kementerian Perdagangan (Kemdag), Kementerian Keuangan (Kemkeu), Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Partogi Pangaribuan mengatakan pemerintah memutuskan bahwa ekspor CPO dan produk turunannya dengan harga di bawah US$ 750 per ton tidak dikenakan BK atau 0% untuk bulan April 2015 ini. "Rendahnya harga referensi dan HPE CPO saat ini karena masih lemahnya harga CPO internasional akibat oversupply pasar internasional minyak nabati dunia, terutama minyak nabati dari sumber lain sebagai kompetitor CPO," ujar Partogi.

Kemdag menetapkan Harga Patokan Ekspor (HPE) CPO periode April 2015 naik 0,5% atau US$ 3 menjadi sebesar US$ 627 per metrik ton (MT) dibandingkan Maret 2015. Kenaikan ini didasarkan pada harga referensi CPO US$ 698,19 per MT, naik sebesar US$ 3,29 atau 0,47% dari bulan sebelumnya yakni US$ 694,90 per MT. Penetapan ini tertuang dalam Permendag No.24/M-DAG/PER/3/2015 tentang penetapan HPE atas produk pertanian dan kehutanan yang dikenakan BK pada hari Jumat (27/3) lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×