kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Produsen ban minta pengecualian aturan impor


Senin, 22 Mei 2017 / 22:19 WIB
Produsen ban minta pengecualian aturan impor


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Produsen ban yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) meminta pemerintah untuk memberikan pengecualian terhadap kegiatan impor ban. Permintaan ini disampaikan APBI ketika Kementeriaan Perdagangan (Kemendag) memperketat impor ban. 

Oke Nurwan, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan membenarkan adanya permintaan APBI soal pengecualian kegiatan impor ban. “Iya betul begitu (ada surat dari produsen lokal),” ujar Oke, akhir pekan lalu.

Surat dari APBI kepada Kemendag tertanggal 10 April 2017 itu menyebutkan, APBI meminta agar pemilik AP-P anggota APBI, dapat melakukan impor ban yang tidak diproduksi di Indonesia dengan menggunakan Permendag Nomor 118/M-DAG/PER/12/2015 tentang ketentuan impor barang komplementer, barang untuk keperluan tes pasar dan pelayanan purna jual. 

Langkah tersebut dilakukan lantaran legalitas pemilik API-P untuk melakukan impor ban terkendala di Bea Cukai menyusul pelaksanaan Permendag 77/2016 mengenai ketentuan impor ban.

Sesuai Permendag 77/2016 yang berlaku mulai 1 Januari 2017, importansi ban harus dilakukan melalui sejumlah tahapan. Tahap pertama, importir harus mendapatkan rekomendasi dimana salah satu persyaratannya adalah surat penunjukkan dari pemegang merek yang diakui oleh Trade Attache di KBRI negara tersebut. 

Tahap berikutnya, importir memiliki surat persetujuan impor dari Kemendag dengan membawa surat rekomendasi dari Kemenperin. Selanjutnya, importir melakukan laporan surveyor melalui KSO yang ditunjuk oleh Kemendag.

Dalam pelaksanaannya, impor ban hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pemilik Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) atau perusahaan pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API-U) yang telah mendapatkan persetujuan impor dari menteri.

Selain itu, impor ban hanya bisa dilakukan jika ban impor dipergunakan sebagai penunjang atau melengkapi proses produksi. 

Sejumlah pihak menilai, langkah Kemendag memberikan ijin kepada anggota APBI untuk melakukan importansi ban menggunakan Permen 118/2015 menunjukkan adanya keberpihakan terhadap API-P dan adanya dualisme sistem importasi ban dengan regulasi dan fasilitas yang berbeda.

Padahal, ban yang diimpor oleh API-P sesungguhnya bukanlah ban komplementer, karena ban bias dan ban radial sangat berbeda. 

Ban radial menjadi prioritas pemilik usaha lantaran memiliki kualitas yang lebih tinggi dan memberikan jaminan keselamatan, hemat energi dan cost efficiency yang lebih baik ketimbang ban bias yang mayoritas diproduksi di dalam negeri. 

Oke menjelaskan, secara prinsip pemerintah tidak berniat membatasi impor ban. Syaratnya, ban tersebut tidak diproduksi di Indonesia. Pertimbangan lain, impor ban diperbolehkan untuk kepentingan layanan purna jual, tes pasar, atau keperluan industri tertentu. 

“Untuk tes pasar tidak mungkin rutin tiap bulan. Begitu juga misalnya untuk ekspor kendaraan ke Eropa yang ada empat musim, kan tidak mungkin ekspor kendaraan tanpa ban,” jelas Oke.

Sebelumnya, sejumlah pengusaha di industri strategis seperti transportasi, pertambangan, perkebunan, hingga pelabuhan mengeluhkan pengetatan impor ban yang telah menciptakan kelangkaan ban dan membuat bisnis mereka semakin tidak efisien.

Kini, sudah banyak pelaku usaha melakukan kanibalisasi untuk tetap beroperasi.  Dan ban ban tersebut belum diproduksi di Indonesia.

“Harga ban yang dibutuhkan sudah naik antara 7%-12% sejak bulan lalu,” kata Kurnia Lesani Adnan, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Indonesia (IPOMI). 

Hal senada disampaikan  Gemilang Tarigan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo). Menurut dia, berbagai aturan ini menyulitkan di tengah industri ban dalam negeri yang belum mendukung. 

Sejumlah ban sektor utama ekonomi seperti ban untuk tambang, pelabuhan dan pertanian belum diproduksi di Indonesia “Sekarang produksi ban Truck Bus Radial (TBR) belum mencukupi kebutuhan. Sementara ban Bias buatan dalam negeri memiliki persoalan yang dapat berpengaruh pada keamanan, kenyamanan, dan efisiensi. Harusnya pemerintah tidak mengabaikan masalah ini,” jelasnya.

Gemilang menambahkan, dampak pembatasan impor adalah ban truk jenis radial yang sulit ditemui di pasar, sehingga menyebabkan harga naik hingga 10%. Padahal, ban radial merupakan ban yang sering digunakan truk karena memiliki masa pakai lebih lama.

Oke memastikan pemerintah siap membuka keran impor ban jika ada kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi produsen lokal. Namun, dia meminta pengguna ban impor tidak mengaitkan hal itu dengan kualitas ban. Dia yakin ban produksi lokal cukup bersaing dengan merk impor. 

“Jangan juga kualitas produk seperti Michelin dan Bridgestone dijadikan alasan, tapi yang diimpor yang ‘begitu-begitu’ kualitasnya,” pungkas Oke.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×