kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45997,15   3,55   0.36%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ridwan Kamil, arsitek lokal dengan klien global


Kamis, 29 November 2012 / 14:10 WIB
Ridwan Kamil, arsitek lokal dengan klien global
ILUSTRASI. Wall Street mixed di awal pekan ini dengan S&P 500 dan Nasdaq cetak rekor penutupan lagi


Reporter: Fransiska Firlana | Editor: Tri Adi

Jaringan yang luas dan keahliannya di bidang arsitektur membawa nama Ridwan Kamil menjadi arsitek muda yang sukses. Bukan hanya di dalam negeri, ia juga sukses di luar negeri. Proyeknya tersebar di Asia dan Timur Tengah.

Desain suatu bangunan menunjukkan pesan dan visi pemiliknya. Arsitek yang bagus adalah mereka yang bisa mengejawantahkan visi itu dalam karya arsitektur. Salah satu arsitek muda yang kualitas karyanya diakui banyak pihak adalah Ridwan Kamil, pemilik PT Urbane Indonesia.

Pengakuan terhadap kemampuan pria yang biasa disapa Emil ini bukan hanya datang dari Tanah Air, tapi juga dari luar negeri. Sudah lebih dari 50 proyek desain di luar negeri yang ia tangani secara pribadi. Selain itu, lebih dari 20 proyek di luar negeri lahir melalui

PT Urbane Indonesia. “Proyek di Indonesia juga sudah ada puluhan,” kata lelaki berkacamata ini. Tahun ini, dia menangani 12 proyek dalam negeri dan 3 proyek dari luar negeri.

Proyek-proyek dari luar yang pernah ditangani Emil tersebar di Asia hingga Timur Tengah. Antara lain di Bangkok, Hong Kong, Shanghai, Beijing, Jeddah, Bahrain, Damaskus, dan lain-lain. “Di luar negeri, saya lebih banyak menggarap proyek kawasan superblok. Antara lain Beijing Finance Trade,” kata ayah dua anak ini. Selain itu, ada juga proyek Jeddah Hill.

Emil juga pernah meraih beberapa penghargaan, antara lain BCI Asia Top Ten Architecture Business Award tahun 2007, 2009, dan 2010. Dia juga menjadi pemenang International Young Design Entrepreneur of the Year dari British Council Indonesia pada 2012.

Dalam perjalanan kariernya, Emil sempat merasakan kerja serabutan dan masuk dalam kelompok miskin kota di Amerika Serikat (AS). Di AS, Emil merintis kariernya sebagai arsitek profesional. Setelah lulus dari Jurusan Arsitektur di Institut Teknologi Bandung tahun 1995, Emil mengajar di almamaternya. Kemudian, tahun 1997, ia berkesempatan magang sebagai arsitek junior di AS. Kebetulan, perusahaan itu memiliki banyak proyek di Indonesia. Sayangnya, baru empat bulan magang, Indonesia terkena imbas krisis moneter. Akibatnya, banyak proyek perusahaan tersebut yang tidak berjalan dan proses magang Emil pun terpaksa berhenti.


Kerja serabutan

Emil mencoba bertahan di Amerika dengan uang hasil tabungannya. Dia mencoba mencari pekerjaan. Namun, karena pembawaannya yang kalem dan sopan, ia justru banyak ditolak oleh beberapa perusahaan. “Mereka menganggap pembawaan itu terlalu rendah diri, jadi pihak perusahaan kurang yakin dengan kemampuan kita,” kenang Emil yang sempat dua bulan menganggur ini.

Akhirnya, Email berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai arsitek di Hellmuth, Obata + Kassabaum (HOK) di New York. “Saya lebih percaya diri memperkenalkan siapa diri saya sewaktu wawancara,” ujar suami Atalia Praratya ini. Baru setahun bekerja, ternyata perusahaan tempat Emil bekerja lupa memperpanjang visa kerjanya. Alhasil, ia terpaksa keluar dari perusahaan itu. Padahal, saat itu, sang istri tengah hamil delapan bulan.

Akhirnya, Emil bekerja serabutan.  Maklum, tanpa visa kerja, ia tidak bisa bekerja di sektor formal. “Saya kerja sebagai tukang ukur bangunan dan gajinya di bawah UMR,” kenangnya. Karena itu pula, secara demografi, dia masuk ke dalam kelompok warga miskin kota di Amerika.

Beruntung, Emil berhasil mendapatkan beasiswa pendidikan Master of Urban Design di University of California-Berkeley. “Saya minta istri dan anak ke Indonesia karena uang saya tidak banyak. Makan cuma bisa sehari sekali. Saya waktu itu jadi tukang mewarnai di dinas tata kota Barkeley,” kenang lelaki kelahiran Bandung, 4 Oktober 1971 ini.

Setelah lulus sekolah, Emil berhasil bekerja di Skidmore, Owings & Merril (SOM) sebagai senior urban designer pada tahun 2000. Saat itu, dia banyak menangani proyek di China. Karier Emil menanjak dengan cepat. Setelah menjadi manajer di SOM, dia pun dipercaya menjadi kepala studio SOM di Hong Kong. “Dua tahun saya di sana, saya pun tertantang untuk mengembangkan kemampuan saya di Tanah Air,” katanya.

Tahun 2003, Emil kembali ke Indonesia dan menjadi konsultan. Tapi, dia juga masih dipercaya menjadi konsultan lepas di SOM. Tahun 2004, Emil mengajak tiga rekannya untuk mendirikan perusahaan desain dan konsultan arsitektur dengan bendera PT Urbane Indonesia di Bandung. Melalui bendera Urbane, nama Emil semakin dikenal.  Tiga tahun lalu, dia membuka cabang di Jakarta. “Meski basis kami di Indonesia, tetapi cakupan proyek yang kami tangani global,” katanya.

Di dalam negeri, Emil dan Urbane Indonesia kebanjiran proyek. Antara lain adalah kawasan superblok Rasuna Epicentrum, Hotel Santika Dyandra Premiere Medan, Gramedia Expo Surabaya, Senayan Aquatic Stadium, Medan Focal Point, Kuningan City, Paramount Lakes Gading Serpong, Bintaro

x-change, Area 24, Jembatan Westdrain Ancol, Masjid Al-Irsyad Kota Baru Parahyangan Bandung, Museum Tsunami Aceh, dan masih banyak lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×