kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Subsidi energi 2012 jebol


Selasa, 08 Januari 2013 / 00:15 WIB
Subsidi energi 2012 jebol
ILUSTRASI. Kawasaki Ninja ZX-25R atau Ninja 250 4-silinder


Reporter: Herlina KD | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Pemerintah mewaspadai tingginya realisasi anggaran subsidi energi tahun 2012. Makanya, untuk tahun 2013 ini, pemerintah akan melakukan upaya pengendalian subsidi energi dengan lebih terukur. Jika tidak, maka bisa mengancam fiskal pemerintah.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan, pembengkakan subsidi energi tahun 2012 sangat membebani fiskal pemerintah. Makanya, untuk tahun 2013 ini Kemenkeu ingin agar pengendalian konsumsi BBM bersubsidi bisa lebih terukur, sehingga volumenya tidak lebih dari 46 juta kilo liter. Jika tidak, "Ini bisa membahayakan fiskal, karena seandainya pembatasan tidak berjalan, kita akan harus menyesuaikan harga BBM bersubsidi," ujarnya dalam konferensi pers Senin (7/12).

Catatan saja, hingga 31 Desember 2012 realisasi subsidi energi sebesar Rp 306,478 triliun atau 151,5% dari pagu APBNP 2012 yang sebesar Rp 202,35 triliun. Rinciannya, subsidi BBM sebesar Rp 211,89 triliun atau 154,2% dari pagu APBNP 2012 yang sebesar Rp 137,37 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp 94,58 triliun atau 145,6% dari pagu APBNP 2012 yang sebesar Rp 64,97 triliun.

Realisasi subsidi BBM ini masih belum termasuk dengan potensi anggaran yang harus di carry over ke tahun 2013 sebesar Rp 18 triliun, dan subsidi listrik sekitar Rp 5 triliun. Sehingga, total potensi anggaran subsidi energi yang di carry over ke tahun 2013 sekitar Rp 23 triliun.

Lonjakan realisasi subsidi energi tahun 2012 juga lebih tinggi ketimbang tahun 2011. Sebagai perbandingan, tahun 2011 lalu realisasi belanja subsidi energi sebesar Rp 255,60 triliun (130,9%) dari pagu APBNP 2011 sebesar Rp 195,28 triliun. Rinciannya, subsidi BBM sebesar Rp 165,161 triliun (127,3%) dari pagu APBNP 2011 sebesar Rp 129,72 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp 90,44 triliun (138%) dari pagu APBNP 2011 sebesar Rp 65,56 triliun.

Tingginya realisasi subsidi BBM tahun 2012 lalu disebabkan oleh melesetnya beberapa realisasi asumsi makro seperti harga minyak mentah Indonesia (ICP), dan nilai tukar rupiah yang jauh lebih tinggi dari asumsi, serta tingginya konsumsi BBM yang mencapai 45,2 juta kilo liter. Sementara itu, pembengkakan subsidi listrik terjadi karena tingginya ICP, nilai tukar dan kombinasi bahan bakar (fuel mix) untuk bahan bakar pembangkit listrik. 

Agus bilang, untuk saat ini pemerintah memang belum berencana untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Meski begitu, pemerintah juga tak menutup peluang kenaikan harga BBM bersubsidi. Kalau pengendalian subsidi BBM tidak terkontrol dengan baik, maka peluang kenaikan harga BBM masih terbuka. 

Agus menambahkan, langkah penyesuaian harga BBM bersubsidi merupakan opsi terakhir dari pemerintah. Pasalnya, kenaikan harga BBM bersubsidi dampaknya tak hanya dari sisi ekonomi tapi juga ada dampak sosial dan kemiskinan. 

Nah, untuk menghindari kondisi ini, Agus bilang Kemenkeu akan berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengimplementasikan berbagai inisiatif pengendalian konsumsi BBM bersubsidi. Di antaranya, melakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi untuk kendaraan roda empat, dan industri, penggunaan energi alternatif, dan termasuk konversi dari BBM ke BBG. 

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menambahkan Kemenkeu sebagai otoritas fiskal ingin agar kebijakan pengendalian BBM sifatnya terukur. "Apa pun kebijakannya, harus bisa menjamin volume BBM terkendali sehingga tidak terlampaui," ujarnya.

Menurutnya, yang paling utama perlu ada kebijakan energi yang jelas dan tidak maju mundur seperti saat ini. Tak hanya itu, setiap inisiatif yang datang dari daerah (dari bawah) perlu direspons positif. Bambang bilang, kebijakan fiskal sifatnya hanya mendukung di belakang. Pasalnya, kalau kebijakan fiskal yang didorong ke depan, maka beban langsung ke APBN atau ke neraca pembayaran sangat besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×