kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Titik cerah industri alat berat


Senin, 15 Januari 2018 / 14:14 WIB
Titik cerah industri alat berat


| Editor: Tri Adi

Tahun 2018 sepertinya cukup menjanjikan bagi industri alat berat. Kinerja penjualan alat berat tahun 2017 cukup mengesankan. Membaiknya kinerja sektor pertambangan, dampak kenaikan harga komoditas menyebabkan penjualan alat berat merek Komatsu di Januari-November 2017 meningkat 73,2% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Angka penjualan melebihi target United Tractors tahun 2017, yaitu 3.200 unit.  Pemicunya, penjualan alat berat sektor pertambangan meningkat 217,1% (yoy), diikuti  sektor perkebunan  155,6% (yoy).

Penjualan merek Komatsu sampai November 2017 sebesar 3.467 unit. Merujuk data Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabi), produksi alat berat hingga kuartal I-2017 sebanyak 1.153 unit, naik 87% dibanding periode sama tahun lalu sekitar 619 unit. Sementara di  kuartal kedua, industri alat berat mencatat penjualan 2.467 unit dan diprediksi mencapai 4.400 unit pada akhir tahun 2017.

Hinabi mengatakan, prospek penjualan alat berat 2018 didorong sektor tambang. Target penjualan alat berat 2018 mencapai 4.400 unit, sama dengan 2017. Kebutuhan terus meningkat sejalan pengolahan komoditas pertambangan, pembangunan infrastruktur, perkebunan dan kehutanan.

Meski tren penjualan alat berat meningkat, kami menilai ada yang mesti diperhatikan. Pertama, kenaikan permintaan belum diimbangi ketersediaan alat berat. Pasokan bahan baku produksi belum sepadan. Meski kapasitas terpasang indusri alat berat 10.000 unit per tahun, utilitas di 2018 hanya 70%. Jadi 7.000 unit saja yang diproduksi. Sedangkan permintaan 2018 bisa 10.000 unit. Tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) alat berat  mencapai 40%, berarti impor bahan baku masih 60%.

Kedua, selain bahan baku, tenaga kerja juga perlu diperhatikan. Kemampuan suplai terbatas ini akibat industri komponen alat berat belum stabil pasca pengurangan orang beberapa tahun lalu. Ketiga, belum stabilnya harga komoditas. Fluktuatifnya harga komoditas masih menjadi perhatian khusus industri alat berat. Sektor pertambangan mempunyai andil terbesar.

Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan. Satu, menambah kapasitas produksi terpasang. Sumitomo berencana menambah kapasitas pabrik agar produksi meningkat. Terkait impor bahan baku, pasokan bahan baku alat berat didominasi impor. Besi baja buatan lokal belum  memenuhi kriteria produksi alat berat.

Pelaku industri besi dan baja harus meningkatkan kualitas produksi besi dan baja agar pasokan bahan baku dengan TKDN lebih tinggi, sehingga meminimalisir impor. Di sisi tenaga kerja, perusahaan diharapkan merekrut karyawan.

Dua, fokus penjualan tidak hanya ke pertambangan, juga ke konstruksi. Kebutuhan meningkat sejalan peningkatan pembangunan infrastruktur dan kegiatan pengolahan komoditas pertambangan, perkebunan dan kehutanan. Sektor konstruksi juga berprospek.

Tahun 2018 banyak proyek besar infrastruktur pemerintah masih dan akan berjalan. Seperti, Pelabuhan Patimban dan Bandara Kertajati, proyek mass rapid transit (MRT), kereta cepat Jakarta-Surabaya dan proyek infrastruktur di Sulawesi, seperti kereta api.

Berdasarkan data BPS, sampai September 2017, daerah  dengan pertumbuhan sektor konstruksi melebihi pertumbuhan konstruksi nasional (tumbuh 6,7%) adalah Lampung (tumbuh 10,8%), Sumatra Selatan (8,2%), Sulawesi Selatan (8,1%), Papua Barat (7,8%), Maluku Utara (7,5 %) dan Sulawesi Utara (7,4%). Dengan fokus ke konstruksi, perusahaan dapat mengarahkan penjualan ke daerah yang sedang dibangun atau membutuhkan.

Kondisi industri saat ini juga tak terlepas dari risiko. Seperti,  penurunan harga komoditas signifikan. Ketika harga batubara melorot, pendapatan perusahaan berkurang. Ketika biaya operasional perusahaan besar dan pendapatan berkurang, laba operasional  menurun. Perusahaan menunda membeli alat berat. Permintaan alat berat turun.

Risiko lain, kesulitan cash flow perusahaan konstruksi terutama BUMN. Pengembalian investasi proyek pemerintah terhadap perusahaan konstruksi memakan waktu lama. Sedangkan perusahaan tersebut harus membiayai proyek dalam waktu dekat. Dengan cash flow tidak seimbang, perusahaan konstruksi menunda atau tidak membeli alat berat baru. Ini menurunkan permintaan alat berat secara nasional. Tapi, selama faktor pendukung industri alat berat, yaitu harga komoditas stabil dan proyek infrastruktur berjalan mulus, kinerja penjualan alat berat nasional akan terus tumbuh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×