kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Begini strategi lengkap Garuda Indonesia (GIAA) atasi kas mini dan utang jumbo


Selasa, 14 Juli 2020 / 22:28 WIB
Begini strategi lengkap Garuda Indonesia (GIAA) atasi kas mini dan utang jumbo
ILUSTRASI. Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menjawab pertanyaan jurnalis saat melakukan sesi wawancara dengan Tribunnews.com di kantor Garuda Indonesia, Bandara Soekarno-Hatta, Banten, Kamis (11/6/2020). TRIBUNNEWS/DANY PERMANA


Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana

KONTAN.CO.ID -JAKARTA.  PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) sepertinya masih sulit terbang tinggi. Selain bisnisnya terhantam pandemic yang memberatkan industri penerbangan, maskapai penerbangan milik negara ini juga mengantogi beban berat.

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI, Selasa (14/7), Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, arus kas atau cash flow GIAA per 1 Juli 2020 hanya sekitar US$14,5 juta.

Ini artinya, Garuda (GIAA) hanya memiliki arus kas sekitar Rp 210,42 miliar dengan kurs rupiah Rp 14.512 per dollar AS.  Dengan  arus kas  minim, pinjaman ke bank dan lembaga keuangan mencapai US$ 1,3 miliar atau Rp 18,86 triliun dengan kurs yang sama.  

Adapun, saldo utang usaha dan pinjaman Garuda Indonesia (GIAA) US$ 2,218 miliar dengan perincian US$ 905 juta dari utang operasional, pinjaman jangka pendek sebesar US$ 608 juta, serta pinjaman jangka panjang US$ 645 juta.

Untuk pinjaman jangka panjang, ada yang berbentuk sukuk senilai US$ 500 juta.GIAA telah melakukan negosiasi dan ekstensi selama 3 tahun untuk instrumen tersebut.

Irfan juga menyebut, efek pandemi Covid-19 menyebabkan total ekuitas GIAA menjadi negatif US$ 426 juta pada akhir 2020 ini. Alhasil, Garuda harus melakukan sejumlah langkah agar bisa tetap terbang.

Pertama,  untuk menjembatani periode pencairan dana pinjaman pemerintah, Garuda (GIAA) juga menjajaki bridging loan kepada Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) sebesar Rp 2,3 triliun.

Bridging loan diusulkan dengan support letter dari Kementerian Keuangan. Pinjaman digunakan untuk membiayai operasional Garuda (GIAA) sampai dengan dana pinjaman pemerintah bisa dicairkan.

Kedua, Garuda (GIAA) mengusulkan rencana penerbitan obligasi wajib konversi alias mandatory convertible bond (MCB) senilai Rp 8,5 triliun berjangka waktu tiga tahun. 
Skema obligasi wajib konversi ini diusulkan untuk menampung pencairan dana pinjaman dari pemerintah.

Sekadar mengingatkan, Garuda (GIAA) termasuk  dalam daftar 17 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diusulkan untuk menerima bantuan dari pemerintah dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Khusus Garuda (GIAA), pemerintah akan mengucurkan dana talangan modal kerja senilai Rp 8,5 triliun. 

'Atas rencana masuknya modal kerja itu, Garuda (GIAA) mengusulkan dana pinjaman berbentuk MCB yang diserap seluruhnya akan oleh pemerintah atau PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) selaku standby buyer. 

Tenor MCB diusulkan tiga tahun atau jatuh tempo pada 2023, seturut  dengan prediksi pemulihan industri penerbangan setelah pandemi Covid-19.

Irfan tak menampik jika pada tahun yang sama, sukuk gobal senilai US$ 500 juta yang jatuh.  Hanya dalam hitungan Garuda (GIAA), ada tiga opsi dalam pelunasan MCB. 

Pertama, GIAA akan membayar secara tunai dengan asumsi pendapatan bisa sepenuhnya pulih. Kedua, GIAA menerbitkan surat utang baru pada 2023 yang hasil emisinya digunakan untuk melunasi MCB. Ketiga, pemerintah atau SMI dapat mengkonversi MCB menjadi saham di Garuda Indonesia (GIAA)

“Perlu dipahami, dana pinjaman pemerintah itu lebih besar dari nilai kapitalisasi pasar saham Garuda saat ini. Jika opsi MCB ditukar menjadi saham, ada pemegang saham minoritas yang ke-swipe (terdilusi),” jelas Irfan. 

Meski begitu, GIAA belum menentukan kupon MCB lantaran harus melewati persetujuan pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). 

Irfan berharap, pinjaman pemerintah bisa ditetima sebelum Desember tahun ini, mengingat ekuitas perseroan yang diperkirakan sudah negatif pada Juni 2020. 

Garuda saat ini juga tengah mencari fasilitas program eskpor khusus sebesar Rp 1 triliun. “Saat ini tengah diproses Kementerian Keuangan dan komite National Interest Account (NIA),” ujar Irfan. Garuda berharap fasilitas ekspor khusus tersebut dapat dicairkan pada Juli 2020. 

Lalu, Garuda Indonesia (GIAA) juga mengupayakan untuk mengembalikan pesawat yang tidak sesuai dengan spesifikasi perusahaan kepada lessor disamping negosiasi dalam menurunkan tarif sewa.

Kata Irfan, saat ini kontraktual sewa pesawat yang masih berlangsung hingga jangka waktu rata-rata 10 tahun - 12 tahun.

Diakui Irfan, secara kontrak, perjanjian sewa pesawat itu lebih berpihak kepada lessor. Alhasil manajemen Garuda Indonesia juga melakukan pendalaman secara legal atas kontrak tersebut.

Selain itu Irfan tak memungkiri banyak lessor yang tidak bersedia maskapai mengembalikan pesawatnya sebab tidak ada pasar maskapai baru yang membutuhkan.

Tahun ini, Garuda seharusnya menerima 4 pesawat Airbus. “Namun, kami sedang dinegosiasikan agar menunda penerimaan itu,” ujar Irfan. 

Penundaan kedatangan pesawat ini bukan kali pertama dilakukan GIAA, Garuda pernah menunda kedatangan pesawat Boeing 737 Max 8 akibat kecelakaan yang menimpa maskapai Lion Air dan Ethiopia Airlines.

Irfan menjelaskan, kala itu total kontrak jenis pesawat Boeing 737 Max 8 mencapai 50 pesawat. Namun, Garuda baru menerima 1 pesawat yang kemudian akibat peristiwa jatuhnya pesawat segera dilarang terbang atau grounded.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×