kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

INACA: Margin dari tiket hanya 1%-3%, industri penerbangan sebenarnya lagi sulit


Selasa, 15 Januari 2019 / 17:12 WIB
INACA: Margin dari tiket hanya 1%-3%, industri penerbangan sebenarnya lagi sulit


Reporter: Harry Muthahhari | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Asosiasi Industri Penerbangan Nasional atau Indonesia National Air Carrier Association (INACA) merasa kondisi industri penerbangan penumpang sedang dalam kondisi sulit. Namun demikian perusahaan harus tetap menurunkan harga tiket.

Sebelumnya, INACA menyebut telah menurunkan harga tiket pesawat sejak Jumat (11/1). Tetapi di sisi lain, maskapai juga melakukan berbagai inovasi untuk meningkatkan pendapatan pesawat dari sumber lain. "Garuda Indonesia dari kargo. Lion Air dan Citilink dari pendapatan bagasi," jelas Ketua Umum INACA Ari Askhara pada Selasa (15/1).

Ari mengungkapkan, industri maskapai merupakan industri dengan margin keuntungan yang tipis jika hanya mengandalkan penjualan tiket. "Margin 1% sampai 3% dari tiket, kalau 3% itu bagus dan harga tiketnya selangit," tambahnya.

Dari sisi tarif yang ditetapkan pemerintah, Ari melihat pemerintah juga kesulitan untuk meningkatkan tarif batas atas maupun tarif batas bawah tiket pesawat. Soal ini, daya beli masyarakat merupakan patokan terhadap aturan tarif batas atas maupun bawah itu. Dilematis memang karena ketika harga tinggi peminat berkurang, ketika harga rendah maskapai rugi.

Kemudian untuk keuangan internal, maskapai juga tidak bisa serta merta melakukan efisiensi dengan mengurangi gaji para karyawannya. Gaji karyawan sendiri, bagi Ari yang juga menjabat sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia, beban gaji memakan 10% dari total pengeluaran.

Sebelumnya, INACA menyebut penurunan harga tiket karena stakeholders kebandaraan seperti Angkasa Pura I, Angkasa Pura II, AirNav, dan Pertamina Aviation bakal menurunkan harga komponen yang musti dibayarkan maskapai ke para pihak yang disebut itu. "Kami sudah dengar komitmen yang disampaikan verbal dari pihak kebandaraan," tambah Ari.

Nah, di antara biaya-biaya itu, biaya bahan bakar dalam hal ini avtur, merupakan biaya yang memberikan kontribusi beban operasional terbesar. Sebagai gambaran di Garuda Indonesia, kata Ari, avtur menyedot 40% sampai 45% dari total pengeluaran.

Karenanya INACA berharap agar Pertamina menurunkan harga avtur sebesar 10%. Walaupun INACA tentu paham Pertamina tidak semudah itu menurunkan harga avtur. "Tapi kalau harga Pertamina turun, kami bisa turun," ujarnya.

Belum lagi soal beban sewa pesawat. Untuk beban ini, kontribusinya sebesar 20% dari total beban maskapai. Sekedar tahu, harga tiket pesawat yang tertera merupakan harga yang memperhatikan berbagai faktor. Setiap pesawat, setiap rute, selalu menyediakan harga dari mulai yang terrendah sampai yang tertinggi. Tentu saja tinggi atau rendahnya permintaan atau demand juga mempengaruhi harga tiket.

Urutannya, harga tiket terrendah akan dijual lebih awal. "Kemudian ketika sudah laku yang murah, lanjut jual tahap kedua yang lebih mahal dan seterusnya," kata Direktur Utama Citilink Juliandra pada saat yang sama.

Berbeda jam, berbeda pula harganya. Di jam-jam dengan permintaan tinggi seperti jam 07.00 pagi sampai 09.00 pagi merupakan waktu padat. Di waktu itu, harga tiket pesawat mahal karena permintaan di jam itu sangat tinggi. Kemudian di jam-jam berikutnya ketika permintaan sepi, harga tiket akan lebih murah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×