kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri daur ulang dalam negeri memberikan potensi yang menjanjikan


Kamis, 05 Desember 2019 / 22:02 WIB
Industri daur ulang dalam negeri memberikan potensi yang menjanjikan
ILUSTRASI. Peserta pameran menunjukkan plastik yang siap didaur ulang dalam pameran plastik dan karet 2019 di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Rabu (10/7/2019).


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pasar daur ulang plastik di dalam negeri memiliki prospek yang menjanjikan. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, kebutuhan bahan  baku plastik naisonal mencapai kurang lebih 7,23 juta ton per tahunnya untuk memenuhi konsumsi plastik nasional.

Sebagian besar penggunaan bahan baku plastik diserap untuk kebutuhan pembuatan kemasan, yakni 2,90 juta atau sekitar 40% dari total konsumsi bahan baku plastik. Sementara itu, penggunaan bahan baku plastik terbesar kedua dan ketiga berasal dari penggunaan di sektor rumah tangga dengan porsi 20% dan bangunan sebesar 15%.

Baca Juga: Ada tiga produk impor yang berpotensi merugikan industri dalam negeri, apa saja?

Namun demikian, sebagian besar dari kebutuhan bahan baku plastik tersebut masih dipasok oleh importasi bahan baku dari luar. Pada tahun 2018 saja misalnya, volume impor bahan baku daur ulang plastik ke dalam negeri tercatat mencapai 3,66 juta ton atau setara dengan sekitar US$ 6,16 miliar. Sebanyak 80% dari importasi tersebut berasal dari negara-negara di Asia Tenggara.

Kasubdit Industri Plastik dan Karet Hilir, Kementerian Perindustrian, Rizky Aditya Wijaya menilai kebutuhan bahan baku plastik yang sedemikian besar sebenarnya bisa saja diisi oleh pelaku-pelaku industri daur ulang plastik. Mengutip data Kemenperin, Ia mencatat saat ini terdapat 600 industri besar dan 700 industri kecil yang bermain di sektor industri daur ulang plastik.

Namun demikian, persentase pengolahan daur ulang yang ada masih sangat rendah. Menurut catatan Kemenperin, dari sebanyak 7,23 juta konsumsi bahan baku plastik dalam setahun, hanya terdapat 914 ribu atau sekitar 12,6% saja yang kemudian didaur ulang kembali.

Rizky tidak memungkiri bahwa hambatan-hambatan masih ditemui dalam pengelolaan sampah plastik daur ulang. Pasalnya, infrasturktur pengelolaan sampah daur ulang yang ada dinilai masih belum merata. Tidak hanya itu, bahkan kota-kota besar seperti Jakarta saja masih memiliki kekurangan prasarana yang dibutuhkan untuk pengolahan sampah daur ulang plastik.

Baca Juga: Indonesia kembali menjadi anggota Dewan IMO, ini tiga fokus Kemenhub

Untuk prasarana truk saja misalnya, jenis truk pengangkut sampah yang ada masih terbatas. Oleh karenanya, sampah plastik yang sudah dipisahkan dalam kotak sampah khusus pada akhirnya tetap tercampur dengan sampah-sampah organik ketika dimasukkan dan diangkut oleh truk sampah.

“Kalau sampah plastiknya sudah tercampur dengan sampah organik, itu biaya pengolahannya lebih mahal karena perlu dibersihkan kembali sebelum diolah dan didaur ulang,” jelas Rizky  dalam sesi diskusi konsep Packaging Recovery Organization (PRO) di Menara Astra, Jakarta (05/12).

Padahal potensi impor substitusi impor bahan baku yang ada terbilang besar, yakni sebesar  3,66 juta ton atau setara dengan sekitar US$ 6,16 miliar. Hal ini belum termasuk potensi ekspor bahan baku sebagai dampak ditutupnya industri daur ulang plastik di Cina yang kapasitasnya 9 juta ton per tahun.

Kendati demikian, persoalan-persoalan di atas tidak serta-merta menghambat ketertarikan pelaku industri untuk mulai memanfaatkan konsep ekonomi sirkuler dan mulai mendaur ulang produk-produk kemasan yang digunakan. Asosiasi Kemasan dan Daur Ulang (Packaging and Recycling Association for Indonesia Sustanable Environment/PRAISE) akan berencana melakukan proyek pengelolaan sampah plastik berkelanjutan hingga 2030 mendatang.

Caranya, asosiasi yang beranggotakan enam pelaku industri barang konsumer, yakni Unilever, Nestle, Indofood, Coca Cola, Danone, dan Tetra Pak ini akan membentuk organisasi bernama Packaging Recovery Organization (PRO) yang berangotakan ahli-ahli daur ulang. Organisasi ini pada nantinya akan memiliki misi utama untuk menghubungkan mata rantai value chain pengelolaan sampah plastik.

Baca Juga: Sinergi Inti Plastindo (ESIP) yakin pendapatan tahun ini bisa tumbuh 50%

Untuk tahap awal, PRO akan melakukan studi pengelolaan sampah di dua kota dengan karakteristik yang berbeda di tahun 2020 guna mencapai metode pendekatan terbaik.

“Misal satu di kota yang sudah memiliki industri daur ulang dan infrastruktur pengolahan sampah plastik yang memadai dan satu kota yang tidak,” ujar Public Affairs and Communications Director PT Coca Cola Indonesia, Triyono Prijosoesilo dalam acara yang sama (05/12).

Selanjutnya, pada tahun 2021 PRO akan melakukan ekspansi ke lebih banyak kota untuk melakukan misi yang sama dengan metode pendekatan terbaik yang didasarkan pada temuan kajian di dua kota sebelumnya. Adapun pendanaan dari proyek tersebut akan mengandalkan kas internal asosiasi. Namun demikian, Triyono mengaku belum bisa membeberkan nilai investasi ataupun rincian kota yang akan disasar dalam program tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×