kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

LTSHE dihitung dalam rasio elektrifikasi, sudah tepatkah?


Minggu, 17 Maret 2019 / 20:19 WIB
LTSHE dihitung dalam rasio elektrifikasi, sudah tepatkah?


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan Rasio Elektrifikasi (RE) sebesar 99,9% bisa tercapai pada tahun ini. Pemanfaatan energi surya melalui Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) menjadi opsi untuk menunjang capaian target tersebut.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Sutijastoto mengatakan, pihaknya memasukkan LTSHE dalam hitungan RE bukan tanpa alasan. Ia bilang, LTSHE ini sebagai awalan sebelum masuknya sistem ketenagalistrikan dan transmisi di daerah-daerah yang memiliki karakteristik yang sulit, seperti di Papua.

Di sana, lanjut Sutijastoto, karakteristrik daerahnya berdistrik dimana satu kampung dengan kampung lainnya memiliki daerah yang berjauhan. Sehingga, diperlukan waktu yang cukup lama jika harus menunggu sistem ketenagalistikan yang konvensional dengan jaringan tranmisi dan distribusi, belum lagi soal keterjangkauan medan dan juga biaya yang mahal.

Padahal kebutuhan listrik, terutama penerangan dasar sangat mendesak diperlukan masyarakat. "Masyarakat, khususnya pedalaman Papua banyak yang masih hidup dalam kegelapan. Untuk itu pemerintah membagikan LTSHE secara gratis layaknya masyarakat lain yang menikmati subsidi listrik via sambungan listrik PLN," kata Sutijastoto saat dihubungi Kontan.co.id, Sabtu (16/3).

Setelah itu, kata Sutijastoto, pemerintah memastikan akan meneruskan LTSHE dengan program lanjutan yang terkoordinasi dengan kementerian terkait dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), antara lain melalui program Listrik Desa. Yaitu dengan mengembangkan pembangkit listrik berbasis EBT, seperti Biomassa.

"Pemerintah tidak tinggal diam sampai sini (memberikan LTSHE), dan sedang merencanakan langkah-langkah selanjutnya, sambil mengembangkan pembangkit listrik berbasis EBT," terangnya.

Asal tahu saja, berdasarkan data dari Kementerian ESDM, pada tahun anggaran 2018 lalu, program LTSHE dilaksanakan di 16 provinsi, dengan jumlah pemasangan LTSHE sebanyak 172.996 unit. Mayoritas, pemasangan LTSHE dilakukan di Provinsi Papua yang tersebar di 11 Kabupaten dengan alokasi sebanyak 152.754 unit (88%) di 1.345 desa.

Pada tahun ini, Kementerian ESDM berencana untuk memasang LTSHE di 98.481 rumah tangga, yang tersebar di 22 provinsi dan 119 kabupaten, yang diadakan dengan biaya sekitar Rp. 3,2 juta per unit LTSHE.

Di sisi lain, untuk mencapai target RE 99,9% pada tahun ini, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan pemerintah dan stakeholder terkait perlu melistriki 1.833.622 Rumah Tangga (RT).

Rida menjelaskan, untuk mengaliri listrik ke sejumlah RT tersebut, ada dua pendekatan yang dilakukan. Pertama melalui jaringan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) atau secara on-grid sebanyak 1.620.512 RT, dan kedua secara off-grid melalui pemasangan LTSHE sebanyak 213.110 RT.

Rida juga kembali menegaskan mengapa LTSHE masuk dalam hitungan RE. "LTSHE itu kita masukkan, sebagai bentuk komplementari dari Lisdes (Listrik Desa). Agar orang-orang tidak menunggu terlalu lama (untuk terlistriki), nanti disusul dengan Lisdes dari PLN," jelasnya.

Kendati demikian, menurut Direktur Eksekutif Institute for essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, LTSHE ini tidak seharusnya dimasukkan ke dalam hitungan RE. Fabby menilai, LTSHE ini lebih cocok sebagai program Pra-Elektrifikasi.

Alasannya LTSHE hanya memberikan pelayanan energi melalui penerangan dengan intensitas dan jumlah yang terbatas. Yakni hanya sekitar 6 jam - 8 jam sehari, berbeda dengan pelanggan PLN yang dapat listrik 24 jam sehari dengan daya 450 VA (220 V, 2 A).

"Beda sekali dengan pelayanan listrik LTSHE. Kalau beda, masa mau dimasukkan sebagai RE? Oleh karena itu LTSHE lebih tepat disebut sebagai Program pra-elektrifikasi," katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (17/3).

Meski begitu, Fabby setuju jika LTSHE cukup mampu untuk meningkatkan kualitas hidup, khususnya memberikan penerangan kepada masyarkat di daerah-daerah terpencil yang belum terjangkau listrik. Hanya saja, ia tetap mengusulkan agar ada standar untuk Rasio Elektrifikasi agar tidak hanya sebatas memberikan penerangan.

Fabby mengusulkan, untuk standar RE di Indonesia paling tidak memperhatikan ketersediaan listrik di atas 12 jam per hari dengan daya listrik yang cukup untuk penerangan dan menggerakkan perangkat rumah tangga sederhana. "Seperti radio, TV dan pengisian batteray untuk handphone," katanya.

Untuk itu, Fabby juga menyarankan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, seperti Pembangkit Listrik tenaga Mini Hidro (PLTMH). Fabby bilang, mesti investasi yang dibutuhkan lebih mahal dari penyediaan LTSHE, namun pembangkit ini bisa memberikan kualitas dan daya listrik yang lebih ideal.

Ia mencontohkan, pembangunan PLTMH bisa menyediakan listrik setara dengan 100 VA dengan tegangan 220 V dan arus 0,5 A. "Dengan daya ini jumlah penerangan yang bisa dipakai lebih besar dan lebih lama serta mampu menggerakan perangkat listrik berdaya kecil," ujarnya.

Begitu juga jika memasang Solar Home System (SHS) yang setara dengan 300-500 Wp per rumah. Jumlah itu bisa memberikan energi serata dengan 1 kWh-1,5 kWh per hari atau 30-45 kWh per bulan. "Untuk energi sebesar ini sangat cukup untuk kebutuhan energi listrik bulanan atau harian rumah tangga yang belum mampu," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×