kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menilik potensi penghijauan pada PLTU batubara PLN dengan campuran biomassa


Minggu, 01 Maret 2020 / 06:44 WIB
Menilik potensi penghijauan pada PLTU batubara PLN dengan campuran biomassa
ILUSTRASI. PLN berupaya mencampur bahan bakar batubara dengan energi berbasis baru dan terbarukan.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berupaya mencampur bahan bakar batubara dengan energi berbasis baru dan terbarukan (EBT) untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Pencampuran tersebut dilakukan dengan metode co-firing.

Direktur Pengadaan Strategis 1 PLN Sripeni Inten Cahyani mengungkapkan, metode co-firing telah diuji coba di enam PLTU oleh dua anak usaha PLN, yakni PT Indonesia Power (IP) dan PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB). Metode ini merupakan pencampuran batubara dengan sumber energi biomassa, yang dalam hal berbentuk pelet sampah, kayu (wood pellet) dan cangkang sawit.

Inten menyebut, dari enam PLTU yang telah diuji coba, metode co-firing sudah terbukti bisa mencampur batubara dengan pelet, tanpa mengganggu kinerja pembangkit. "Uji coba sudah. PJB ada lima (PLTU), IP satu. PJB pellet kayu dan cangkang sawit, IP dengan sampah," kata Sripeni kepada Kontan.co.id belum lama ini.

Baca Juga: Pertamina: Gasifikasi 52 pembangkit akan dilakukan dalam empat tahap

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun mendukung langkah tersebut. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana mengungkapkan, kapasitas PLTU saat ini berkisar di angka 34,7 gigawatt atau sekitar 50% dari kapasitas terpasang pembangkit nasional.

Menurut Rida, dalam dua dekade ke depan, pasokan setrum dari PLTU masih dibutuhkan. Namun, dengan target bauran EBT 23% pada tahun 2025, maka transisi menuju energi bersih di pembangkit listrik mesti digarap serius.

Oleh sebab itu, dengan melihat kondisi yang ada serta potensi pemanfaatan biomassa, maka penerapan teknologi co-firing dalam rangka menuju green power plant menjadi terobosan yang penting untuk segera direalisasikan.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan bahwa ketersediaan biomassa sebagai bahan co-firing potensial. "Ada dua bahan baku yang jadi campuran metode co-firing, yakni sampah dan limbah/hasil hutan berupa kayu, ini dicampurkan 1% hingga 5%. Kalau diakumulasikan potensinya cukup menjanjikan," ungkap Agung.

Baca Juga: Normalkan 2.485 gardu distribusi, PLN pastikan kelistrikan Jakarta dan Banten

Agung memberikan gambaran, sampah sebagai bahan baku pellet saat ini memiliki volume sebesar 20.925 ton per hari yang terkonsentrasi di 15 tempat pengelolahan sampah kota, yakni DKI Jakarta (7.000 ton per hari), Kota Bekasi (1.500 ton per hari), Kabupaten Bekasi (450 ton per hari), Batam (760 ton per hari), Semarang (950 ton per hari), Surabaya (1.700 ton per hari), Kota Tangerang (1.200 ton per hari), Denpasar dan Badung (1.155 ton per hari).

Selanjutnya, ada Depok, Kota dan Kabupaten Bogor (1.500 ton per hari), Makasar (1.000 ton per hari), Bandung (1.630 ton per hari), Surakarta (550 ton per hari), Malang (800 ton per hari), Regional Jogja (440 ton perhari) dan Balikpapan (290 ton per hari). "Nilai kalori pengelolaan sampah yang dihasilkan sekitar 2.900-3.400 cal/gr," terang Agung.

Sementara untuk hasil hutan jenis kayu jika disetarakan dengan besaran listrik yang dihasilkan, total potensi kayu untuk dijadikan jadi wood pellet sebesar 1.335 mega watt electrical (MWe). Potensi tersebut tersebar di Sumatra (1.212 MWe), Kalimantan (44 MWe), Jawa, Madura dan Bali (14 MWe), Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (19 MWe), Sulawesi (21 MWe), Maluku (4 MWe) dan Papua (21 MWe) dengan nilai kalori sebesar 3.300-4.400 cal/gr.

Saat ini terdapat tiga tipe PLTU yakni, 43 tipe pulverized coal (PC) dengan total kapasitas 15.620 MW membutuhkan campuran 5% biomassa atau setara 10.207,20 ton per hari, 38 tipe circulating fluidized bed (CFB) total kapasitas 2.435 MW membutuhkan 5% biomassa atau setara 2.175,60 ton per hari. Sedangkan 23 tipe STOKER dengan kapasitas 220 MW menggunakan 100% biomassa atau setara 5.088 ton per hari.

Baca Juga: Semakin diminati, ada 1.580 pengguna PLTS Atap di Indonesia hingga akhir tahun lalu

Sebagai gambaran lainnya, untuk memenuhi kebutuhan 1% cofiring di PLTU di Indonesia, maka dibutuhkan biomassa sebanyak 17.470 ton per hari atau 5 juta ton wood pellet ton per tahun, ekuivalen dengan 738.000 ton per tahun pellet sampah.

Adapun, uji coba metode co-firing telah dilakukan PLN di enam PLTU. Untuk PLTU PJB, uji coba dilakukan di lima PLTU, yakni di PLTU Indramayu (3 x 330 MW), PLTU Rembang (2 x 300 MW), PLTU Paiton (2 x 400 MW), PLTU Ketapang di Kalimantan Barat (2 x 10 MW) dan PLTU Tenayan di Riau (2 x 100 MW).

Sedangkan untuk PLTU yang dikelola IP ialah di PLTU Jerangjang NTB (3 x 25 MW). Pellet yang digunakan berasal dari sampah yang dihasilkan dengan metode tempat olah sampah setempat (TOSS).

Presiden Direktur PJB Iwan Agung Firstantara mengungkapkan, uji coba dilakukan secara intensif sejak awal tahun lalu dan berhasil melakukan uji coba dengan porsi pencampuran 1%, 3% dan 5% pelet. Iwan mengatakan, pihaknya akan terus meningkatkan porsi campuran secara bertahap hingga bisa mencapai 30% pelet. Menurutnya, skema ini telah banyak diterapkan di sejumlah negara maju, seperti di Inggris.

Menurut Iwan, penggunaan skema co-firing ini juga akan menimbulkan efek berganda bagi pengembangan ekonomi. Dengan pencampuran 5% di PLTU yang berlokasi di Jawa, maka berpotensi untuk mengembangkan 160 industri pelet dan akan menyerap 1.600 tenaga kerja baru.

"Sehingga sudah clear secara teknis, tidak akan mengganggu operasional pembangkit Juga ada potensi menggerakkan ekonomi di sektor lain dan masyarakat sekitar," ujar Iwan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×