kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pembangunan smelter dinilai lambat, Pengamat: Pemerintah tak boleh lemah


Rabu, 03 Oktober 2018 / 16:34 WIB
Pembangunan smelter dinilai lambat, Pengamat: Pemerintah tak boleh lemah
ILUSTRASI. Pabrik Feronikel Antam


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Progres pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian hasil penambangan (smelter) masih bergerak lambat. Hingga memasuki penghujung tahun 2018 ini, tak banyak perusahaan mineral penerima rekomendasi ekspor yang telah mencapai kemajuan fisik 100%.

Padahal, dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) Pasal 103 disebutkan, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Sementara pada Pasal 170, pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun sejak diundangkan.

Merujuk pada data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per 30 September, di kelompok komoditas konsentrat dan lumpur anoda, dari delapan perusahaan pemegang rekomendasi ekspor (RE), tercatat baru dua perusahaan yang capaian pembangunan kumulatif smelternya sudah 100%, yaitu PT Primier Bumidaya dan PT Sumber Baja Prima.

Di sektor nikel, dari 21 perusahaan pemegang RE, baru enam perusahaan yang capaian pembangunan kumulatifnya sudah 100%. Sedangkan di kelompok bauksit, dari tujuh pemegang RE, baru dua diantaranya yang telah menyelesaikan fasilitas pemurnian, yakni PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dan PT Cita Mineral Investindo.

Menurut pengamat hukum sumber daya alam dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi, setidaknya ada tiga faktor yang membuat pembangunan smelter berjalan lambat. Pertama, karena biaya investasi yang besar. Sehingga, kata Redi, perusahaan cenderung lebih suka menambang dengan pola dengan mengeruk, mengangkit, dan menjual.

Kedua, pemerintah dinilai masih lemah dalam menegakkan aturan di UU Minerba. Apalagi, lanjut Redi, pemerintah malah acap kali memberikan relaksasi untuk tetap memberikan ijin ekspor. Sedangkan yang ketiga, soal kepastian bagi investasi pembangunan smelter, di saat relaksasi masih berlaku untuk perusahaan yang belum rampung membangun smelter.

“Pemerintah berkali-kali menyimpanginya dengan memberikan relaksasi bahkan sampai dengan tahun 2022. Padahal di UU Minerba sudah tidak boleh ada ekspor ore/konsentrat yang belum diolah dan dimurnikan malalui pembangunan smelter,” ujar Redi saat dihubungi KONTAN, Rabu (3/10).




TERBARU

[X]
×