kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah ingkar, industri pengguna gas kolaps


Selasa, 10 Oktober 2017 / 06:07 WIB
Pemerintah ingkar, industri pengguna gas kolaps


Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha pengguna gas menagih janji Presiden Joko Widodo untuk menurunkan harga gas bagi industri maksimal US$ 6 per mmbtu (million British Thermal Unit). Sebab, meskipun sudah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 40/2016 sejak dua tahun silam, untuk menurunkan Harga Gas Bumi untuk Industri Tertentu, hingga kini belum maksimal.

Di Perpres itu, industri yang harusnya mendapat diskon harga gas adalah industri pupuk, baja, petrokimia, kaca, keramik, sarung tangan karet, dan oleokimia. Saat ini baru harga gas bagi industri pupuk, baja, dan petrokimia yang sudah turun.

Presiden Direktur PT Puri Kemenangan Jaya Jusmery Chandra yang juga tergabung dalam Asosiasi Keramik Indonesia mengatakan sudah ada delapan pabrik keramik atau 20% dari seluruh pabrik keramik di Indonesia  yang tutup.  Salah satu pemicunya karena harga gas mahal membuat mereka tak bisa bersaing.

Harga gas memiliki porsi sebesar 35-40% dari total biaya produksi keramik. Dengan tingginya biaya membeli gas, perusahaan keramik yang masih beroperasi pun tidak bisa mendapatkan untung.

Ia menyebut posisi perusahaan yang bertahan kini antara hidup segan dan mati tak mau. Pabrik tersebut rugi karena kami tidak mungkin mencetak untung 30%. 
"Jadi begitu utilisasi 60%-70% pasti rugi. Rugi dua tiga bulan oke masih bisa di-cover, tapi kalau sampai setahun ujung-ujungnya kebangkrutan," tegasnya, Senin (9/10).

Jusmery juga menyayangkan minimnya perhatian pemerintah terhadap industri keramik. Padahal industri keramik di Indonesia cukup besar dan masuk ke jajaran 5 besar di dunia, dengan potensi pasar yang cukup bagus. Tapi saat harga gas mahal  industri keramik Indonesia kalah dengan China dan Vietnam.

Sementara, Ketua Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan juga mengatakan sudah ada satu pabrik kaca yang berhenti berproduksi selama enam bulan akibat harga gas bumi yang mahal. Industri kaca Indonesia pun kalah bersaing dengan Malaysia.

Bahkan produk lembaran kaca Malaysia sudah masuk ke Indonesia. Ia juga menyebut investor lebih suka menanamkan modalnya di Malaysia. "Investor China menanamkan investasinya di Malaysia dan ekspor hasilnya ke Indonesia beberapa bulan terakhir ini," imbuh Yustinus.

Dia meminta pemerintah segera merealisasikan penurunan harga gas bumi. "Pemerintah sangat lamban menjalankan janjinya, membuat 1l pabrik berhenti hampir enam bulan," tegasnya.

Pelaku industri pupuk juga terancam gulung tikar. Achmad Safiun, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) bilang, industri pupuk saat ini sudah memiliki utang di bank hingga mencapai Rp 16 triliun. "Kalau enggak diturunkan harga gas maka pabrik pupuk akan tutup," imbuhnya.

Industri pupuk saat ini sudah mencoba bisnis baru demi mempertahankan perusahaan. Pasalnya industri pupuk dalam negeri sudah kalah bersaing dengan China dan Timur Tengah karena harga gas.

Selain itu, Safiun juga menyebut saat ini pelaku industri sarung tangan lateks juga menjadi korban janji manis Pemerintah untuk menurunkan harga gas. "Dari 40 pabrik, sekarang tinggal empat pabrik," jelas Safiun.

Demikian juga dengan industri pulp. Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Aryan Warga Dalam mengatakan, saat ini pabrik pulp kapasitasnya 10 juta ton, kertas sampai 15 juta ton. Dampak harga gas mahal  impor kertas juga cenderung meningkat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×