kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Persetujuan impor AC ngaret, Sharp Electronics (SEID) berpotensi kehilangan Rp 100 M


Senin, 09 November 2020 / 18:24 WIB
Persetujuan impor AC ngaret, Sharp Electronics (SEID) berpotensi kehilangan Rp 100 M
ILUSTRASI. AC keluaran Sharp Electronics Indonesia (SEID)


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Sharp Electronics Indonesia (SEID) mengeluhkan pelaksanaan ketentuan persetujuan impor (PI) barang elektronik yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 68 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Impor Alas Kaki, Elektronik, dan Sepeda Roda Dua dan Roda Tiga. 

Gara-gara beleid itu, SEID menyebut kehilangan potensi penjualan lebih dari Rp 100 miliar dari lini produk pendingin ruangan alias AC pada bulan Oktober 2020.

Senior General Manager National Sales SEID Andri Adi Utomo mengungkapkan, pihaknya sudah mengajukan permohonan PI untuk kebutuhan 1 tahun ke depan tidak lama setelah Permendag Nomor 68 Tahun 2020 diundangkan pada akhir Agustus 2020 lalu, namun PI yang ditunggu-tunggu tidak kunjung keluar hingga saat ini. 

Akibatnya, penjualan AC SEID menjadi terganggu lantaran tidak bisa melakukan impor. Maklumlah, 100% produk-produk AC SEID yang dijual  di Indonesia dipasok secara impor utuh dari Thailand dan China. 

Baca Juga: Siap-siap, banjir impor sepeda bakal terjadi di bulan ini

“Di bulan September, kami hanya jual (sisa) stok, Oktober (stok) habis,” jelas dia kepada Kontan.co.id, Senin (9/11).

Selain mengeluhkan proses pengajuan PI yang molor, SEID juga menyoroti sosialisasi Permendag Nomor 68 Tahun 2020 yang dirasa minim dan tanpa disertai masa tenggang. Andri menegaskan, SEID sejatinya mendukung niat baik pemerintah untuk memperkuat industri dalam negeri. 

SEID bahkan tidak berkeberatan untuk membangun pabrik AC di Indonesia. Hanya saja, implementasi Permendag Nomor 68 Tahun 2020 yang dilakukan tanpa sosialisasi dan masa tenggang dirasa memberatkan dan berpotensi mengerek harga AC di pasaran domestik.

Andri mencatat, hasil produksi AC lokal di Indonesia baru bisa memenuhi sekitar 20% dari total kebutuhan AC nasional, sementara sisanya berasal dari impor. Adapun total kebutuhan AC nasional, bisa mencapai 1,8 juta unit dalam 1 tahun.

Dengan komposisi yang demikian, tidak heran bila gangguan pasokan impor AC bisa mengungkit harga AC di pasar domestik. Untuk saat ini saja, Andry mencatat bahwa harga AC di pasaran sudah naik sebesar 5% dari harga semula.

Baca Juga: Impor pendingin ruangan masih marak, ini pendapat pelaku industri AC

“Kelangkaan AC membuat harga menjadi tidak terkendali dan membuat dealer AC, kontraktor AC, tenaga pasang AC kesulitan mendapatkan barang dan pemenuhan order. Akhirnya konsumen mengalami kelangkaan AC di saat mereka harus lebih banyak di rumah,” ujar Andri.

Andri menilai, idealnya para pemegang Angka Pengenal Importir (API) Umum diberikan masa tenggang 2 tahun untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan ketentuan importasi barang elektronik yang diatur dalam Permendag Nomor 68 Tahun 2020.

Menurut dia, pemberian masa tenggang dalam penerapan kebijakan baru tertentu merupakan hal yang lumrah. Hal ini bisa dijumpai misalnya pada penerapan SNI, ketentuan Energy Efficiency Ratio (EER), dan penerapan kartu garansi berbahasa Indonesia.

“Saat itu pemerintah selalu memberikan tenggang waktu agar kita bisa melakukan persiapan,” imbuh Andri.

Sebagai informasi, lini produk AC memiliki kontribusi sekitar 20% dalam total penjualan SEID. Berdasarkan data internal perusahaan, SEID saat ini menguasai sekitar 30% market share dari pasar AC Indonesia.

Selanjutnya: AC Impor Menguasai 70% Pasar, Produsen Lokal Mengeluh Tak Dapat Dukungan Pemerintah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×