kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pro kontra perubahan tarif royalti tambang, pengusaha nikel protes


Rabu, 11 Desember 2019 / 16:51 WIB
Pro kontra perubahan tarif royalti tambang, pengusaha nikel protes
ILUSTRASI. Kendaraan truk melakukan aktivitas pengangkutan ore nikel ke kapal tongkang di salah satu perusahaan pertambangan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Rabu (6/11/2019).


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah telah mengubah jenis dan tarif iuran produksi atau royalti tambang, khususnya untuk komoditas mineral. Peraturan tersebut akan berlaku efektif pada 1 Januari 2020.

Perubahan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Beleid ini menggantikan PP Nomor 9 Tahun 2012.

Baca Juga: Pemerintah ubah Jenis dan tarif royalti tambang, ESDM: untuk dorong hilirisasi

Perubahan jenis dan tarif royalti ini, khususnya di komoditas mineral, menimbulkan pro dan kontra. Suara kontra, salah satunya datang dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, perubahan tarif ini dirasa semakin memberatkan penambang nikel di tengah tata niaga dan harga domestik yang dinilai tak ramah terhadap penambang.

"Karena harga dan tata niaga nikel domestik sampai saat ini belum clear, harusnya bereskan dulu itu, baru ditambah lagi kewajiban," kata Meidy saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (11/12).

Asal tahu saja, dalam beleid yang baru, tarif royalti untuk sejumlah komoditas mineral diatur lebih rinci berdasarkan produk dan proses penambangan. Untuk bijih mentah (ore) dikenakan tarif lebih mahal, sedangkan produk tambang yang sudah diolah atau dimurnikan diberikan tarif yang lebih murah.

Sebagai contoh, di PP ini, tarif royalti untuk bijih nikel dikenakan sebesar 10% dari harga jual per ton. Naik dua kali lipat dari tarif sebelumnya yang hanya sebesar 5%.

Untuk produk lanjutan, tarif royalti dipatok lebih mini. Produk pengolahan berupa nickel matte, misalnya, dipatok sebesar 2% dari harga jual per ton, turun dari tarif sebelumnya yang senilai 4%. Hal yang sama juga berlaku untuk Ferro Nickel (FeNi) yang royaltinya turun dari sebelumnya 4% menjadi 2%.

Baca Juga: Jelang siang, harga emas turun 0,05% di level US$ 1.463,69 per ons troi

"Royalti bijih nikel naik dua kali lipat, 5% jadi 10%. Artinya kan penambang nasional makin terpuruk dengan segala kewajiban dan beban yang makin tinggi. Sedangkan para smelter itu akan industri hilirnya malah diringankan beban nya, kan nggak fair gitu," ungkap Meidy.

Menurut perhitungan Meidy, dengan kadar nikel 1,7% saja, kenaikan royalti 5% dari harga jual per ton pada bijih nikel berakibat penambahan beban biaya sekitar US$ 3 per ton bagi penambang. Ia menyampaikan, royalti ini berdasarkan Harga Patokan Mineral (HPM). Sedangkan harga jual bijih nikel di lapangan, kata Meidy, bisa berbanding dua atau tiga kali lebih rendah.




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×