kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Wood Mackenzie: Daya tarik hulu migas Indonesia masih tertinggal dari negara lain


Kamis, 19 November 2020 / 19:39 WIB
Wood Mackenzie: Daya tarik hulu migas Indonesia masih tertinggal dari negara lain
ILUSTRASI. Produksi migas


Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Penelitian Asia Pasifik Wood Mackenzie Andrew Harwood menilai saat ini daya tarik industri hulu migas Indonesia masih tertinggal dibanding negara lainnya kendati sejumlah upaya perbaikan sudah dilakukan.

Andrew menjelaskan, perlu upaya lebih agar Indonesia dapat lebih kompetitif. Sejumlah upaya positif seperti pemberian fleksibilitas kontrak, dan insentif disebut tidak boleh berhenti pada titik itu saja pasalnya negara-negara lain terus melakukan pengembangan perbaikan iklim investasi.

Ia mencontohkan, saat ini Brasil dan Irak tergolong lebih menarik bagi investor padahal index investasi tanah air lebih baik.

"Investor akan lihat fiscal term tapi juga lihat akumulasi prospek migas. Brasil pada 2010 adalah tempat investasi yang "hottest" dan ini tarik investor besar. Sama halnya dengan Irak kendati fiskal nya tidak begitu baik tapi prospeknya bagus," kata Andrew dalam diskusi virtual, Kamis (19/11).

Baca Juga: Penambahan split belum prioritas, ESDM minta KKKS maksimalkan pemberian insentif

Andrew melanjutkan, pada waktu silam para perusahaan migas hanya mengincar peningkatan produksi. Tren tersebut perlahan berubah dimana perusahaan mulai melihat pendapatan yang bisa dihasilkan dari produksi.

Menurutnya, pemerintah perlu memperhatikan sejumlah aspek seperti split migas, daya tarik subsurface dan menyediakan bagi hasil yang menarik untuk investor.

"Bagaimana investor bisa mengimbangi kerugian di satu blok dengan produksi dari blok lain. Ini tidak ada di Indonesia jadi perusahaan sulit buat base di Indonesia," kata Andrew.

Ia menambahkan, iklim regulasi juga perlu diperhatikan khususnya terkait percepatan perizinan, dan investasi. "Negara lain terus ubah sistem agar makin kompetitif, jadi Indonesia juga harus terus berusaha jaga kompetitif," jelas Andrew.

Terkait rencana pemerintah memproduksi 1 juta barel per hari pada 2030, Andrew menilai kondisi ini tergolong menarik pasalnya meski banyak investor yang masuk namun masih tergolong skala kecil.

Para perusahaan migas kecil, sebut Andrew, tidak memiliki dana jumbo untuk eksplorasi dan melaksanakan Enchanced Oil Recovery (EOR). Untuk itu diperlukan dukungan fiskal dari pemerintah.

"Big guy leaving tidak selalu buruk karena yang tidak jadi aset utama bagi mereka bisa jadi aset utama bagi perusahaan kecil. Harus bergairah ketika banyak perusahaan kecil masuk," pungkas Andrew.

Selanjutnya: Diskusi harga gas Blok Sakakemang dengan Repsol telah rampung

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×