kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Analis: Emiten perkebunan belum prospektif di 2018


Senin, 12 Maret 2018 / 22:40 WIB
Analis: Emiten perkebunan belum prospektif di 2018
ILUSTRASI. Kelapa Sawit


Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Stagnannya harga komoditas CPO membuat kinerja emiten perkebunan sepanjang 2017 menjadi kurang optimal. Namun, sayang, tantangan emiten sektor perkebunan belum usai.

Yosua Zishoki, analis Henan Putihrai memprediksi, prospek sektor perkebunan tahun ini masih akan stagnan. Sempat muncul sentimen negatif dari pembatasan ekspor CPO Indonesia oleh India akibat penerapan tarif pajak hingga 44% yang diberlakukan pemerintah di sana.

Sentimen itu bisa dikompensasi oleh tingginya kebutuhan edible oil. Total impor terus tumbuh menjadi 15 juta ton pada tahun 2017 yang mana dari jumlah impor tersebut, sebesar 61% merupakan CPO. Artinya, masih ada kemungkinan India bakal terus mengekspor CPO.

Sayang, sentimen positif itu justru pudar karena permintaan CPO dari benua Eropa masih rendah. Penyerapan CPO untuk penggunaan biodiesel juga masih rendah. Padahal, harga minyak dunia sudah naik. Yosua memprediksi, harga CPO tahun ini tidak bergerak banyak dibanding tahun lalu, rentang RM 2.200 per ton hingga RM 3.000 per ton.

"Di sisi lain, masih adanya moratorium pembukaan lahan baru membuat dalam jangka panjang emiten-emiten CPO di Indonesia sulit untuk mengembangkan total volume produksinya," jelas Yosua kepada KONTAN, Senin (12/3).

Produksi memang menjadi salah satu strategi untuk mengkompensasi stagnannya harga jual. Jika berbicara produksi, AALI terlihat yang paling prospektif.

Secara umum, pemulihan produksi tanaman sawit memerlukan waktu hingga dua tahun setelah El Nino berakhir pada akhir 2015. Produksi tandan buah segar (TBS) AALI tahun 2017 sebesar 5,2 juta ton, naik 7% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, 4,8 juta ton.

"Hal itu memberikan sinyal AALI masih memiliki peluang besar untuk memproduksi TBS sebesar 5,6 juta yang bertumbuh 7%," tulis analis NH Korindo Sekuritas Indonesia Joni Wintarja dalam riset 9 Maret. Level pertumbuhan 7% merupakan level pertumbuhan tertinggi sejak periode 2014-2017.

Hal itu yang menjadi dasar Joni merekomendasikan buy saham AALI dengan target harga Rp 18.375 per saham. Target harga itu mencerminkan price earning ratio (PER) 15,8 kali.

Hingga penutupan perdagangan Senin, (12/3), harga saham AALI menguat 25 poin ke level Rp 14.325 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×