kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45938,46   -25,27   -2.62%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Analis: IPO emiten fintech masih meragukan


Selasa, 18 Juni 2019 / 22:23 WIB
Analis: IPO emiten fintech masih meragukan


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah analis menilai aksi penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) perusahaan financial technology (fintech) meragukan. Investor masih dibayang-bayangi istilah bakar uang dan siklus merugi di tahap awal pengembangan.

Perusahaan fintech yang akan melantai di bursa dalam waktu dekat adalah PT Hensel Davest Indonesia Tbk (HDI) yang berencana melepas saham sebanyak-banyaknya 381,17 juta saham atau 25% dari modal yang ditempatkan dan disetor penuh.

Dana hasil IPO akan digunakan untuk mengembangkan produk fintech perusahaan dengan mengakuisisi merchant, meningkatkan operasional dan teknologi, serta membayar utang.

Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menilai hingga saat ini saham fintech belum menarik karena dibayang-bayangi citra kurang bagus. "Mulai dari isu kredit macet hingga istilah bakar duit untuk memelihara kinerja perusahaan," kata Teguh kepada Kontan.co.id, Selasa (18/6).

Menurut Teguh salah satu pertimbangan yang dipikirkan investor adalah persaingan sengit yang mendorong perusahaan harus terus berinovasi. Apalagi emiten yang akan melantai teknologinya bisa dikatakan tidak jauh berbeda dengan kompetitor di Indonesia.

Teguh bilang investor juga melihat perkembangan usaha di bidang teknologi khususnya fintech yang banyak bermunculan tapi juga banyak juga yang bangkrut akibat kehabisan modal dan tidak mampu memperoleh pelanggan yang cukup. "Investor juga masih meraba-raba sebenarnya bisnis emiten ini seperti apa. Apalagi kalau namanya belum cukup dikenal," ujarnya.

Teguh menambahkan melihat dari kinerja emiten startup yang sudah listing di bursa hampir seluruhnya masih merugi dan pergerakan sahamnya yang tidak likuid.

Namun menurut Teguh biasanya perusahaan startup memiliki pola bisnis yang cenderung merugi terlebih dahulu. Teguh mencontohkan Twitter yang listing di bursa Amerika pada 2014 dan baru membukukan laba tiga tahun kemudian pada tahun 2017. Baru semejak itu sahamnya naik.

"Jadi kalau berkaca pada sejarah perusahaan teknologi yang listing investor lebih baik menunggu hingga kinerja fundamentalnya benar-benar positif," ujarnya.

Kendati demikian Teguh mengingatkan belum tentu jika membukukan laba artinya perusahaan sudah aman. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi perusahaan teknologi ke depan.

Senada dengan Teguh, Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana menjelaskan prospek emiten startup dan fintech di bursa kurang menarik. "Karena rekam jejak emiten startup apalagi yang namanya belum pernah kedengeran akan meragukan investor," jelasnya.

Investor juga disarankan untuk mencermati sisi risiko. Namun ada kemungkinan dana hasil IPO bisa untuk pengembangan bisnis dan memberikan katalis positif bagi perusahaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×