kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Aroma persaingan di balik uji materi UU Peternakan


Kamis, 09 Februari 2017 / 11:50 WIB
Aroma persaingan di balik uji materi UU Peternakan


Reporter: Elisabeth Adventa, Noverius Laoli | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengambil keputusan atas gugatan uji materi Undang-Undang (UU) No 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bahwa importasi hewan ternak dan produk hewan dilakukan berdasarkan zonasi (zona based) dan tak lagi dikembalikan ke berdasarkan negara (country based).

Namun, ada cerita dan latar belakang di balik gugatan uji materi ini. Para penggugat sepakat membawa sejumlah pasal dalam UU No. 41/ 2014 ini karena menilai menjadi sumber persaingan tidak sehat dalam bisnis impor daging. Kekhawatiran lebih dirasakan importir yang puluhan tahun masuk bisnis ini.

Sebab, sistem zona based memungkinkan importir daging mengimpor daging dengan harga yang lebih miring karena pilihan sumber impornya lebih banyak. Namun, sebagian importir swasta harus gigit jari lantaran pemerintah hanya mengizinkan impor berdasarkan zonasi ini dijalankan oleh BUMN. Misalnya, ketika dibuka impor daging dari India, pemerintah hanya memberi izin ke Bulog. Ini menimbulkan kecemburuan.

Thomas Sembiring, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Impor Daging Indonesia (Aspidi) mengatakan, buntut monopoli Bulog atas daging India dan hanya mengizinkan para importir untuk menjadi distributor ini jelas menjadi pukulan telak bagi para importir. Sebab, dalam ketentuan, tidak ada yang menyebut bahwa impor hanya bisa dilakukan oleh BUMN.

Bulog pun seolah mendapatkan cek kosong dalam hal impor daging lewat zonasi ini. Hal ini menimbukan kerisauan peternak dan sejumlah importir. "Dengan monopoli atas daging India, Bulog akan memegang kendali harga karena punya stok daging yang lebih murah," ujarnya kepada KONTAN, Rabu (8/2).

Namun, dalam perjalanannya, ternyata kekhawatiran ini tak terbukti. Pasalnya, meskipun mengimpor 48.000 ton daging kerbau dari India, Bulog tak mampu mengendalikan harga. Sedangkan gugatan uji materi telah dilayangkan ke MK sebelum Bulog mengimpor daging tersebut.

Thomas mengakui bahwa peternak lokal dan importir daging lebih menyukai sistem country based karena ada keadilan dalam persaingan bisnis. Selain itu, sumber impor juga lebih jelas.

Jadi pasar alternatif

Thomas memandang, aturan impor sapi dari country based ke zona based dalam dua tahun terakhir tidak banyak mengubah peta bisnis impor daging. Importir baru terus bermunculan, tapi tidak menggerus bisnis importir lawas yang lebih dulu eksis.

Pasar daging yang terus tumbuh membuat bisnis impor daging ini juga ikut mekar, asalkan tak ada perubahan regulasi yang drastis. "Kami jadi bingung karena aturannya berubah-ubah terus sehingga tak ada kepastian hukum," tambah Thomas.

Juard Effendi, Direktur PT Indoguna Utama, pemain lawas di bisnis impor daging sapi, menyebut semangat zona based baik, yakni pemerintah ingin agar masyarakat menikmati daging murah. “Dengan zona based, masyarakat bisa memiliki alternatif mendapatkan daging murah dari India,” tuturnya.

Juard juga mendukung pemerintah terus mengimpor daging murah. Ia memastikan bahwa dengan zona based atau country based, bisnis impor daging sapi akan tetap sehat dan kompetitif.

Ahmad Hadi, Ketua Asosiasi Distributor Daging Indonesia (ADDI) meyakinkan, permintaan pasar terhadap daging beku impor masih stabil meskipun daging kerbau Bulog masuk pasar. "Masing-masing ada pasarnya," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×