kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bonus Demografi: Manfaat atau Kiamat


Kamis, 12 Maret 2020 / 12:31 WIB
Bonus Demografi: Manfaat atau Kiamat
ILUSTRASI. JAKARTA,15/01-PELANTIKAN PENGURUS HIPMI. Presiden Joko Widodo (tengah) berfoto bersama sejumlah pengurus dan anggota Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) periode 2019-2022 usai acara pelantikan di Jakarta, Rabu (15/1). Pelant


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Beberapa bulan terakhir polemik pro dan kontra atas draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Sapu Jagad (omnibus law) Cipta Kerja menghiasi diskursus publik, baik media arus utama maupun media sosial. Namun sebagian besar konten wacana itu telah tereduksi hanya di dua kutub yang saling berlawanan, yaitu kubu tolak dan kubu terima. Terlebih, sepengetahuan penulis, sangat sedikit yang melihat peran dan implikasi RUU ini secara holistik bagi optimalisasi bonus demografi yang sedang kita lalui saat ini dan beberapa tahun ke depan.

Dalam satu dekade terakhir ini, agaknya wacana bonus demografi sudah sedemikian akrab di telinga kita karena setidaknya tak kurang dalam tiga pemilihan presiden (pilpres) terakhir (2009, 2014, dan 2019) semua calon presiden (capres) mengangkat isu ini dalam kampanyenya. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019 secara eksplisit mengangkat isu Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul yang merupakan hilir dari bonus demografi sebagai tema sentral kampanye dan kemudian menegaskan kembali isu ini saat pelantikan sebagai Presiden RI 2019-2024 Oktober lalu.

Menurut Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, beban ketergantungan (dependency ratio) akan turun dari 50,5% pada tahun 2010 menjadi 47,3% pada tahun 2035. Artinya menurunnya rasio beban ketergantungan memperlihatkan reduksi beban ekonomi bagi penduduk usia produktif yang menanggung kelompok penduduk usia tidak produktif.

Namun, saat ini Indonesia sedang berpacu dengan waktu karena puncak keemasan bonus demografi diperkirakan berlangsung antara tahun 2020-2024 yang kemudian akan diikuti dengan penurunan secara berkala setelah itu. Artinya, kita harus mengoptimalkan masa lima tahun ke depan ini sebaik-baiknya sebelum momentum emas ini kemudian pudar.

Secara teori, struktur demografi ini memberikan peluang emas bagi penduduk Indonesia untuk menikmati kehidupan yang lebih layak dan sejahtera. Karena mereka akan mendapat pekerjaan yang lebih berkualitas dan memperoleh penghidupan lebih makmur dengan beban finansial lebih ringan.

Namun, pertumbuhan ekonomi yang tersendat pada kisaran 4%-6% membuat Indonesia kesulitan menyediakan pekerjaan yang layak bagi angkatan kerja.

Potensi problem bonus demografi di atas dalam kacamata pasar tenaga kerja dapat dilihat dari dua sisi: dari sisi penawaran dan sisi permintaan. Sisi penawaran melihat potensi SDM berupa penduduk usia kerja (15-64 tahun) sementara sisi permintaan melihat kebersediaan Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI) dalam merekrut dan membina SDM yang tersedia.

Dari sisi penawaran bisa dilihat dari sejumlah aspek Pertama, meski telah diinisiasi dengan revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasional dalam periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi (2014-2019), dalam periode kedua ini (2019-2024) Indonesia harus lebih serius dan fokus dalam mengoptimalkan bonus demografi ini, khususnya kelompok penduduk usia muda 15-24 tahun.

Sebagai informasi, angka pengangguran penduduk usia muda ini dalam dua dekade terakhir berkisar antara 16%-18% (ILOSTAT database, 1991-2019), jauh di atas angka pengangguran total (seluruh kelompok umur) yang berkisar antara 4%-8%. Jika mereka tidak memperoleh pendidikan atau pelatihan yang memadai, maka bonus demografi saat ini akan dapat berubah menjadi bencana ledakan penduduk tidak terampil beberapa tahun mendatang.

Kedua, tingginya angka pengangguran penduduk usia muda di atas disebabkan oleh tiga hal, yaitu: kekakuan regulasi ketenagakerjaan, mutu pendidikan dan pelatihan yang rendah, serta ketidaksesuaian antara keterampilan dari angkatan kerja dengan kebutuhan DUDI (skill mismatch).

Keseimbangan

Dari sisi permintaan hal yang patut dicermati adalah Pertama, untuk menyerap angkatan kerja usia muda yang berjumlah besar itu, maka mau tidak mau diperlukan ekspansi investasi untuk membuka lapangan kerja secara masif. Kedua, urgensi revitalisasi sektor manufaktur berorientasi ekspor berbasis padat karya yang memiliki peran kunci dalam menyerap angkatan kerja yang sebagian besar tamatan di bawah SMA/SMK/Sederajat.

Mengapa revitalisasi sektor ini krusial? Dari tahun 1964/65 hingga 1990 ketika penyerapan tenaga kerja berpendidikan rendah (SMA ke bawah) meningkat secara pesat maka pendapatan kelompok 40% penduduk termiskin akan naik lebih cepat daripada kelompok 20% penduduk terkaya (Papanek, Pardede, dan Nazara: 2014).

Jika penyerapan tenaga kerja bagi kelompok berpendidikan rendah ini turun maka yang akan terjadi adalah sebaliknya. Rupanya hal sebaliknya ini telah berlangsung sejak 2005 ketika Indonesia mengalami lonjakan harga komoditas sumber daya alam (commodity boom) di mana kelompok 20% terkaya menikmati lonjakan ini sehingga pendapatan mereka meningkat. Sebaliknya pendapatan kelompok 40% termiskin mengalami stagnasi.

Dari uraian di atas jelas bahwa untuk mengoptimalkan bonus demografi kata kuncinya adalah menyelesaikan akar masalah pada sisi penawaran dan permintaan. Dalam kerangka ini omnibus law RUU Cipta Kerja memiliki peran strategis memecah kebuntuan dan melakukan terobosan mengoptimalkan bonus demografi.

Di sisi penawaran, Omnibus Law diharapkan akan menyelesaikan persoalan kekakuan regulasi ketenagakerjaan atau dengan kata lain akan mengurangi biaya regulasi ketenagakerjaan. Regulasi ketenagakerjaan yang berlaku saat ini salah satunya adalah perihal biaya kompensasi pesangon yang secara sekilas menguntungkan para pekerja namun merugikan pihak pemberi pekerjaan.

Kenyataannya kedua belah pihak sama-sama dirugikan. Omnibus law setidaknya akan memberikan pemecahan yang saling menguntungkan baik bagi para pekerja maupun pemberi kerja.

Studi Bank Dunia (2010) menemukan bahwa dari jumlah total pekerja yang memenuhi syarat sebagai penerima pesangon saat terjadi PHK hanya 8% yang menerima pesangon secara penuh; 25% pekerja menerima pesangon sebagian; dan sebanyak 67% pekerja gigit jari alias tidak menerima pesangon sepeser pun.

Mengapa hal ini dapat terjadi? Secara sederhana pemilik perusahaan yang profitnya terus tergerus akhirnya lebih memilih membiarkan perusahaan menuju kebangkrutan bila dibandingkan dengan merasionalisasi jumlah pegawai. Merasionalisasi pegawai berarti harus menyiapkan dana untuk membayar pesangon pekerja PHK. Sebaliknya membiarkan perusahaan bangkrut akan menghindarkan dari kewajiban membayar pesangon karena memenuhi klausul force majeure yang menggugurkan kewajiban.

Dari sisi permintaan, omnibus law memberikan angin segar karena membuka ruang insentif bagi investasi khususnya investasi sektor manufaktur berbasis padat karya. Ini sekaligus merupakan upaya melepaskan Indonesia dari jebakan pendapatan menengah.

Dari sini dapat disimpulkan agar omnibus law RUU Cipta Kerja dapat mengoptimalkan bonus demografi di Indonesia.

Penulis : Padang Wicaksono

Dosen FEB Universitas Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×