kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dampak kinerja BUMN atas kebijakan pasar energi


Rabu, 29 November 2017 / 18:32 WIB


Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahwa PT Pertamina tidak efisien sungguh tak arif dan bijaksana serta tak memahami posisinya sendiri sebagai otoritas pembuat kebijakan.

Sebagaimana diketahui publik bahwa Direksi Pertamina pada hari Kamis tanggal 2 Nopember 2017 telah menggelar pertemuan dengan awak media massa untuk menyampaikan kepada publik hasil kinerja Triwulan III (rentang bulan Juli-September 2017) yang berhasil dicapai. Pada saat itu Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Elia Massa Manik, memaparkan hasil kinerja yang dicapai perusahaan BUMN yang dipimpinnya tersebut.

Pada Triwulan III 2017, telah terjadi penurunan laba perusahaan yang dipimpinnya sebesar 27% menjadi US$ 1,99 Miliar atau Rp  26,8 Triliun. Sedangkan pada Triwulan III Tahun 2016 laba Pertamina mencapai US$ 2,83 Miliar atau Rp 38,2 Trilyun (kurs per dollar Rp 13.500), atau terjadi penurunan Rp 11,4 Trilyun.

Penurunan laba inilah yang disebut oleh Menteri ESDM sebagai adanya ketidakefisienan yang terjadi dalam manajemen Pertamina, yang mana ada produk BBM Premium dari SPBU baru VIVO bisa mrnjual harga BBM jenis RON (Research Octane Number) 89 Rp 6.300 (awalnya Rp 6.100).
Padahal, terhadap kehadiran VIVO ini, jajaran Pertamina tak terlalu mempermasalahkannya sejauh ini, karena SPBU yang dikelola oleh VIVO baru berjumlah 1 (satu) unit di wilayah Provinsi DKI Jakarta.

Sebagaimana diketahui publik bahwa produk BBM berbagai jenis, baik RON 88,89,90,91 dan 92 memang sudah memasuki era persaingan pasar bebas, dan beberapa perusahaan swasta asing pun sudah lama beroperasi di wilayah Indonesia, seperti SPBU Shell dan Total.

Namun, kedua SPBU yang lebih awal beroperasi ini tidak memasarkan premium jenis RON 88 dan 89, melainkan RON diatasnya atau kualitas polutannya lebih rendah. Apabila hadirnya SPBU VIVO adalah untuk memberikan pelayanan optimum pada masyarakat konsumen dengan harga lebih murah, maka analisa yang disampaikan oleh mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas di sebuah media memperoleh pembenaran, bahwa harga premium 6.100 ini lebih murah dibanding dengan harga jual SPBU Pertamina.

Hanya saja kalkulasi yang digambarkan dalam tulisan tersebut bisa menjadi keliru (misleading) dengan data dan informasi harga bahan mentah yang sebenarnya. Dengan menyampaikan bahwa harga jual SPBU Pertamina yang lebih mahal Rp 350 per liter, maka disebutkan rakyat sebagai menanggung kemahalan sebesar Rp 96,8 Milyar per hari dan jika satu tahun kemahalan yang ditanggung menjadi Rp 33,34 Trilyun.

Apakah perhitungan ini benar, sehingga menjadi informasi yang mendiskreditkan Pertamina atas harga jual yang kemahalan selama ini bagi konsumen serta marjin besar bagi Pertamina? Kalkulasi ini tidaklah tepat dan benar dengan hanya membandingkan harga jual konsumen akhir dari premium jenis RON 88 dan 89 yang dijual oleh Pertamina dan VIVO.

Seharusnya hitungan harga jual ini tidak dihitung berdasar perolehan harga dasar minyak mentah dunia yang dipakai oleh pengamat energi dari UGM tersebut yaitu US$ 50 per barel (1 barel = 159 liter) dengan kurs Rp 13.560 per dollar USA. Hitungan ini sama sekali salah, sebab harga US$ 50 per 159 liter ini adalah harga minyak mentah Crude, yaitu yang keluar dari dalam bumi dan harganya tergantung kepada banyak sedikitnya impurities. Apabila minyak ini masih banyak mengandung sulfur maka disebut sour dan harganya lebih murah.

Sedang harga yang sudah ditetapkan oleh Pertamina dan VIVO adalah produk gasoline sebagai hasil pengolahan minyak mentah yang keluar dari kilang. Jadi, informasi kalkulasi adanya beban kemahalan telah ditanggung oleh rakyat konsumen yang disampaikan adalah opini sesat dan menyesatkan publik.

Harga sesudah pengolahan berdasar informasi di website Nasdaq pada tanggal 27 Oktober 2017 adalah $ 1.747/gallon (belum termasuk biaya terminal, transportasi,PBBKB,iuran BPH,PPN, marjin terminal, marjin investor), satu galon adalah 3.785 liter, jika asumsi 1 (satu) dollar USA adalah Rp 13.560, maka harga minyak olahan (gasoline) yaitu : US$ 1.747/3.785 liter x Rp 13.560 = Rp 6.258,74 per liter.

Dengan hitungan harga gasoline ini saja, dan tanpa ada beban biaya tambahan lain pembentuk harga jual ke konsumen sesuai Perpres 191 Tahun 2014, maka harga jual SPBU VIVO sudah tak masuk akal sebesar Rp 6.100, sebab ada selisih sebesar Rp 158,74. Apakah mungkin perusahaan ini memperoleh harga gasoline per gallon lebih murah ataukah memperoleh potongan harga (discount) atau perlakuan istimewa dari pedagang (trader) gasoline? Dengan harga gasoline sebesar Rp 6.258,74 per liter, ditambah marjin dan biaya 20%, PPN 10%, PBBKB 5%, maka harga jual eceran premium jenis RON 88 tentu lebih besar dari Rp 6.450 atau Pertamina memberikan subsidi sebesar lebih dari Rp 200 per liter kepada rakyat konsumen.

Efisiensi BUMN

Kehadiran BUMN tak bisa dipisahkan dari perjalanan panjang sejarah kolonialisme atas Nusantara dan perintah konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan hasil pemikiran para Bapak Pendiri Bangsa (Founding Fathers). Pasal 33 UUD 1945 bangunan sistem ekonomi jelas disebutkan bahwa,  ayat 1: Perekonomian disusun sebagai USAHA BERSAMA berdasar atas azas KEKELUARGAAN.

Apakah unsur usaha bersama dan azas kekeluargaan yang dimaksud dalam soal persaingan harga BBM dan kebijakan listrik murah antara Pertamina dan PLN, relevankah Kementerian ESDM saja yang memberikan izin tanpa mencermati mekanisme pasar yang terjadi serta ketentuan peraturan dan per-Undang-Undangan yang berlaku, termasuk Perpres 191 Tahun 2014, Perpres Nomor 14 Tahun 2017 (pengganti Perpres Nomor 4 Tahun 2016) dan UUD 1945?

Penguasaan sektor energi tak bisa dipisahkan oleh kepemilikan bahan baku atau bahan dasar sebagai beban biaya pokok produksi pembentuk harga. Kementerian ESDM harus paham, apakah sektor hulu energi masih dikuasai oleh negara atau sudah dikuasai korporasi yang saat ini menjadi penyelenggara negara.  Ayat 2, Pasal 33 UUD 1945 lebih tegas menyatakan bahwa: Cabang-cabang produksi yang PENTING bagi NEGARA dan yang menguasai HAJAT HIDUP ORANG BANYAK dikuasai oleh Negara.

Artinya, kehadiran Pertamina sebagai BUMN serta wujud penguasaan negara atas cabang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak adalah mutlak. Dengan dasar ini pula, maka eksistensi Pertamina dan PLN di sektot energi harus terus dijaga dan dipertahankan sebagai ketaatan pada konstitusi ekonomi.

Kebijakan satu harga BBM dan listrik murah dari PLN yang saat ini dijalankan oleh pemerintah dan didukung penuh oleh Pertamina dan PLN jangan sampai tidak memperhatikan kebijakan hulu energi yang berakibat pada efisiensi dan harga murah BBM dan listrik bagi rakyat konsumen. Sebab, misi Pertamina dan PLN tidak saja untuk memberikan harga BBM dan listrik yang layak pada rakyat konsumen, tetapi juga untuk membangun industri energi dari hulu sampai dengan hilirnya sehingga cabang strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak ini mampu menopang keuangan negara dan memberi kesejahteraan pada seluruh rakyat Indonesia, bukan orang per orang.

Jika hanya mengacu pada faktor harga, maka kenaikan harga minyak mentah dunia seharusnya berpengaruh pada harga jual eceran BBM  dan tanpa ada kenaikan harga jual eceran  BBM, maka bisa jadi faktor kenaikan harga ini yang paling signifikan mempengaruhi penurunan laba Pertamina dan over supply daya listrik di PLN. Oleh karena itu, komitmen untuk menjaga pertumbuhan laba BUMN tetap perlu dijaga sebagai bentuk penguasaan negara atas sektor strategis ini dan bukan oleh swasta (Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi dan Ketua Umum Forum Ekonomi Konstitusi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×