Berita *Regulasi

Deindustrialisasi Mendekati Kenyataan?

Kamis, 21 Februari 2019 | 21:34 WIB
Deindustrialisasi Mendekati Kenyataan?

Reporter: Havid Vebri, Merlinda Riska, Nina Dwiantika, Ragil Nugroho | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi deindustrialisasi di Indonesia menjadi nyata saat ini. Demikian kalimat yang terlontar dari mulut Danang Girindrawardana, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

Bagaimana tidak? Danang mengungkapkan, realisasi penanaman modal sektor manufaktur terus menurun.

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, laju investasi manufaktur merosot dalam dua tahun terakhir. Padahal, realisasi investasi manufaktur pada 2015 masih tumbuh menjadi Rp 236 triliun dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp 199,1 triliun. Kenaikan berlanjut pada tahun 2016 menjadi Rp 335,8 triliun.

Namun, mulai 2017 realisasi investasi sektor manufaktur anjlok 18,1% jadi Rp 274,7 triliun. Pada 2018, penurunan berlanjut dan lebih besar, yakni 19,07% jadi Rp 222,3 triliun.

Dengan angka yang hanya segitu, kontribusi industri pengolahan terhadap total investasi tahun lalu hanya 30,8%. Lebih rendah daripada tahun sebelumnya yang mencapai 38,7%, ungkap Farah Ratnadewi Indiriani, Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal BKPM.

Menurut Danang, data BKPM tersebut sekaligus memperlihatkan, penurunan jumlah manufaktur. Kondisi ini berbanding terbalik dengan di negara maju, di mana sektor manufaktur justru menguat.

Karena itu, Danang menegaskan, fenomena ini harus menjadi perhatian serius pemerintah karena bisa berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. Salah satunya, terus melorotnya sumbangan sektor manufaktur atas produk domestik bruto (PDB) nasional.

Dan terbukti, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, peran industri manufaktur terhadap PDB terus menyusut. Pada 2000, kontribusinya terhadap PDB masih 27,5%, tapi pada 2018 tinggal 19,98%. Ini sejalan dengan laju pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang (IBS) yang terus menyusut.

Merujuk data BPS, produksi IBS pada 2018 cuma tumbuh 4,07%, melambat dibandingkan dengan 2017 yang mencapai 4,74%. Artinya, kinerja manufaktur memang tengah berada pada fase yang sangat lambat. Tren ini diprediksi akan berlanjut sampai tahun ini.

Itu tergambar dari Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis Nikkei dan IHS Markit. Survei menunjukkan, aktivitas manufaktur pada Februari 2019 stagnan di level 49,9 poin, sama dengan Januari. Angka ini melambat dibanding Desember 2018 lalu yang masih ekspansif pada posisi 51,2 poin.

Ahmad Heri Firdaus, Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef), menganalisis, perlambatan pertumbuhan manufaktur senada dengan kinerja investasi. Faktanya, investasi melambat di manufaktur besar dan sedang, jelas dia.

Dengan laju investasi dan kinerja yang terus menurun, industri manufaktur diperkirakan sulit tumbuh hingga 5% tahun ini. Menurut Danang, kondisi itu semakin membuka peluang Indonesia sebagai negara perdagangan. Terbukti, laju impor kian tinggi,ujarnya.

Arus impor yang kuat berdampak ke defisit neraca perdagangan yang pada gilirannya membuat defisit transaksi berjalan kian bengkak. Ujungnya, neraca pembayaran pun turut didera defisit. Terus menurunnya investasi dan kinerja industri manufaktur juga berdampak serius terhadap penyerapan tenaga kerja, kata Danang.

Banyak hambatan

Memang, Danang mengakui, masih banyak hambatan industri di negara kita. Sehingga, investasi manufaktur di Indonesia menjadi tidak optimal. Yang paling dirasakan, masih minimnya ketersediaan energi bagi industri, sebut Danang.

Banyak pelaku industri dalam negeri yang mengeluh mahalnya harga gas dan listrik. Selain harga, pasokannya juga belum mencukupi kebutuhan industri. Industri manufaktur sangat membutuhkan jaminan pasokan gas yang murah dan mencukupi, tegas Danang.

Itu sebabnya, Danang menuturkan, pemerintah harus segera merealisasikan janjinya, menurunkan harga gas industri. Pemerintah sudah janji menurunkan harga gas industri sejak 2015 dan sampai sekarang belum kunjung terealisasi.

Contohnya, industri keramik harus emmbeli gas dengan harga berkisar US$ 8 per million metric british thermal unit (mmbtu), termahal di ASEAN. Bandingkan dengan negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Filipina, dan Singapura, yang harga gasnya cuma US$ 3 per mmbtu. Persoalan energi jelas menghambat daya saing industri, ucap Danang.

Bahkan, kata Danang, banyak kawasan ekonomi khusus (KEK) yang pemerintah siapkan masih terkendala pasokan energi. Contoh, kawasan khusus di Sei Mengkei, bebernya.

Rachmat Hidayat, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), menyoroti banyaknya regulasi yang menghambat investasi di sektor manufaktur. Sampai saat ini, masih banyak peraturan yang mengganjal keberlangsungan investasi manufaktur di Indonesia.

Ia mencontohkan, regulasi pengetatan impor bahan baku, bahan penolong, mesin, dan suku cadang. Kata Rachmat, kebijakan pengetatan impor tersebut baru berlaku efektif awal tahun ini.

Bayangkan, untuk mendatangkan suku cadang mesin saja, rumitnya bukan main dan banyak beban. Ada beban pelaporan, ada beban administrator, beban laporan pemeriksaan, beban survei. Ini kan beban biaya harus kami tanggung. Padahal, selama ini tak perlu izin begitu, ungkap Rachmat.

Selain itu, Rachmat menyayangkan kemunculan regulasi di daerah yang melarang penggunaan kemasan plastik. Menurutnya, kebijakan ini cukup menimbulkan keresahan di kalangan pengusaha makanan dan minuman. Kami bingung, mana ada sih, industri mamin yang tak pakai plastik. Kan, persoalannya di pengelolaan sampah plastiknya, kata dia.

Sementara insentif fiskal yang dijanjikan pemerintah, seperti pembebasan pajak penghasilan selama periode tertentu (tax holiday), belum menarik minat investor karena prosedurnya dianggap masih berbelit. Syaratnya cukup rumit dan berat untuk bisa mendapatkan, tutur Rachmat. Berbagai persoalan itu membuat selera investor hilang untuk berinvestasi di Indonesia.

Farah membenarkan, ada banyak faktor yang membuat realisasi investasi manufaktur cenderung menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Selain berbagai persoalan di atas, masalah tenaga kerja juga turut menghambat pengembangan investasi di sektor manufaktur. Harus diakui, tenaga kerja merupakan tantangan saat ini dalam mengembangkan industri manufaktur, ungkapnya.

Masalah utamanya, Sarah membeberkan, kualitas tenaga kerja atau sumber daya manusia (SDM) di Indonesia yang masih rendah. Walhasil, belum bisa mengimbangi investasi yang bergerak di sektor industri teknologi. Sementara tren industri saat ini lebih bergerak ke arah investasi dengan teknologi yang tinggi.

Masih banyak PR

Selain itu, Sarah menambahkan, pelemahan investasi manufaktur dalam beberapa tahun terakhir turut terimbas kebijakan pemerintah yang lebih fokus ke sektor infrastruktur.

Namun, pembangunan infrastruktur juga sangat diperlukan untuk peningkatan daya saing produk-produk Indonesia, dan juga untuk membuka daerah-daerah lain di luar Jawa.

Pada akhirnya, kami mengharapkan, di waktu yang akan datang sektor industri manufaktur juga akan menyebar ke luar Jawa, tambah Farah. Dengan kata lain, pembangunan infrastruktur bisa menggerakkan sektor manufaktur.

Haris Munandar, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemperin), pun tak menampik masih banyak problem yang melingkupi industri manufaktur nasional. Ia menuturkan, di sisi perizinan masih terdapat kendala penyesuaian di daerah-daerah dengan pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik Online Single Submission(OSS) yang belum lama ini diberlakukan pemerintah. Itu cukup menghambat proses perizinan bagi calon investor atau investor eksistingyang hendak ekspansi.

Hambatan lainnya soal ketenagakerjaan, terutama menyangkut upah buruh yang terus mengalami kenaikan setiap tahun tanpa diimbangi peningkatan produktivitas.

Haris juga mengakui, insentif fiskal yang pemerintah tawarkan belum mampu menarik investor, sehingga harus terus dikaji ulang agar memesona. Secara internal memang masih banyak pekerjaan rumah yang harus kami benahi, sebutnya.

Faktor lain yang turut memicu penurunan investasi manufaktur adalah terus berkembangnya sektor baru, yakni industri jasa. Di tengah booming sektor jasa, banyak investor lebih memilih menanamkan modalnya di bidang ini.

Haris menyatakan, memang sulit bagi manufaktur saat ini menandingi sektor jasa yang terus berkembang. Beberapa sektor jasa, seperti e-commerce, transportasi, dan pariwisata, semua tercatat mengalami pertumbuhan tinggi. Investor, kan, cuma melihat di mana mereka bisa mendapatkan return yang tinggi dan cepat. Dan, itu ada di sektor jasa, ujarnya.

Benar, Pieter Abdullah Redjalam, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, menilai, selama ini banyak masalah klasik yang menghambat sektor manufaktur nasional. Ironisnya, masalah tersebut tak pernah tuntas sampai saat ini.

Masalah lahan, perizinan, perburuhan, bahan baku, hingga koordinasi antara pusat dan daerah. Itu semua masalah klasik yang melingkupi sektor manufaktur kita, urainya.

Satu lagi persoalan utama yang cukup menghambat dunia usaha, yakni inkonsistensi kebijakan pemerintah. Contoh, kebijakan wajib membangun industri pengolahan (smelter) di sektor pertambangan. Pemerintah melarang ekspor tambang mentah dan wajib diolah terlebih dahulu di dalam negeri. Pengusaha pun mulai investasi di smelter. Tapi belakangan, pemerintah membolehkan lagi ekspor bahan mentah.

JIka berbagai masalah ini tak segera dientaskan, bukan tak mungkin, penurunan kontribusi manufaktur terhadap PDB alias industrialisasi kian nyata.

Terbaru