kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Emiten CPO terjepit perang dagang


Senin, 09 Juli 2018 / 08:12 WIB
Emiten CPO terjepit perang dagang
ILUSTRASI. Ilustrasi saham CPO


Reporter: Dimas Andi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China akhirnya dimulai. Banyak yang mengkhawatirkan hal ini bakal memperlambat pertumbuhan ekonomi. Meski begitu, sejumlah industri diperkirakan bisa mengeruk untung dari kondisi ini.

Salah satunya adalah industri sawit dan produk turunannya, terutama minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO). Maklumlah, China mematok tarif atas impor semua produk kedelai dan turunannya yang berasal dari AS.

Seperti mungkin Anda sudah tahu, CPO merupakan substitusi minyak kedelai. Dus, hal ini bisa berdampak positif bagi industri CPO. Cuma, dampaknya baru terlihat dalam jangka panjang.

Vice President Research Department Indosurya Sekuritas William Surya Wijaya mengatakan, dampak perang dagang terhadap emiten sektor perkebunan saat ini tidak terlalu besar. Sebab, produk hasil perkebunan seperti sawit yang diekspor oleh Indonesia ke AS dan China jumlahnya tidak banyak.

Merujuk data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), ekspor produk CPO dan palm kernel oil (PKO) Indonesia ke AS hanya sekitar 62.160 ton per April lalu. Jumlah ini merosot 67,87% ketimbang ekspor di awal tahun yang mencapai sekitar 193.470 ton.

Sementara itu, hingga April, ekspor CPO dan PKO ke China sebanyak 234.420 ton. Angka ini juga turun 23,76% dibandingkan ekspor Januari yang mencapai 307.490 ton.

Tetapi, analis Paramitra Alfa Sekuritas William Siregar menuturkan, emiten perkebunan tetap harus waspada, lantaran belum lama ini Presiden AS Donald Trump melayangkan peringatan kepada Indonesia dan mulai mengevaluasi kembali produk-produk yang diekspor ke AS.

Di luar perang dagang, emiten perkebunan sejatinya masih dihadapkan pada tantangan kampanye antisawit yang dilancarkan Eropa. Memang, Uni Eropa telah mencabut larangan penggunaan CPO hingga 2030. Namun, emiten perkebunan tak lantas bisa tidur nyenyak.

Selain itu, India juga berencana menaikkan tarif impor CPO. Sentimen yang bersifat politis tersebut turut membuat harga CPO dunia melemah hingga sekitar 6,4% sepanjang semester pertama lalu. “Selain dirugikan karena penurunan harga komoditas, emiten perkebunan juga terancam kehilangan pangsa pasarnya,” tutur William Siregar.

Tak berhenti sampai di situ, Andy Wibowo Gunawan, analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, mengatakan, pemerintah berencana memperluas program penanaman kembali (replanting) perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Targetnya kali ini 185.000 hektare (ha) tahun ini.

Padahal, tahun lalu target yang dicanangkan pemerintah hanya 4.400 ha. “Kami menilai program penanaman kembali dapat membuat para pemain kelapa sawit di Indonesia kesulitan memperoleh lahan baru di masa mendatang,” ungkap Andy dalam risetnya 4 Juni lalu.

Strategi emiten

Sebenarnya, ada beberapa strategi yang bisa diterapkan perusahaan perkebunan. William Siregar mencontohkan, salah satunya adalah membidik pangsa pasar baru di luar Eropa dan India, yang selama ini jadi tujuan ekspor CPO Indonesia.

Di samping itu, perusahaan produsen CPO juga bisa membuat berbagai macam produk turunan CPO yang baru. “Selama ini perusahaan lebih sering mengekspor sawit dalam bentuk mentah,” kata dia.

William Surya menambahkan, emiten perkebunan juga dapat melakukan diversifikasi bisnis di luar CPO dan turunannya. Ambil contoh PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) yang mulai menggeber segmen bisnis peternakan sapi sejak tahun lalu.

“Walau praktiknya tergantung pada pihak manajemen terkait, setidaknya diversifikasi bisnis bisa membuat sumber pendapatan perseroan lebih beragam,” papar dia.

Terlepas dari hasil kinerja di kuartal I-2018, William Surya masih memfavoritkan AALI dan PP London Sumatra Indonesia (LSIP) pada tahun ini. Kinerja kedua emiten tersebut diyakini masih berpeluang membaik di paruh kedua tahun ini.

Apalagi, kedua emiten ini memiliki saham yang tergolong likuid, sehingga layak dilirik investor. Ia merekomendasikan beli AALI dan LSIP dengan target harga masing-masing Rp 14.500 per saham dan Rp 1.200 per saham.

Sedangkan William Siregar lebih menjagokan LSIP lantaran memiliki posisi kas yang kuat dan utang yang tergolong rendah bila dibandingkan emiten perkebunan lainnya. Ia merekomendasikan beli saham LSIP dengan target harga Rp 1.200 per saham.

Adapun Andy menjagokan saham PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) dan PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS). Keduanya dinilai memiliki landbank yang luas dan dapat mendukung pertumbuhan produksi kelapa sawit secara jangka panjang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×