kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Faisal Basri: Beban rokok lebih besar dibanding dampak ekonominya


Selasa, 06 November 2018 / 20:37 WIB
Faisal Basri: Beban rokok lebih besar dibanding dampak ekonominya
ILUSTRASI. ilustrasi kesehatan rokok


Reporter: Muhammad Afandi | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Faisal Basri menilai beban yang ditimbulkan oleh rokok jauh lebih besar dibandingkan dampak ekonomi rokok.

Rokok membuat pengeluaran besar bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sebesar 30% beban BPJS Kesehatan untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh rokok.

"Pengeluaran BPJS akan semakin kecil bila pengguna rokok semakin sedikit" ujar Faisal saat konferensi pers bersama Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Selasa (6/11).

Rokok juga menyebabkan masyarakat miskin tidak dapat keluar dari kemiskinannya. Hal itu disebabkan pengeluaran masyarakat untuk rokok cukup besar.

Rokok merupakan konsumsi utama masyarakat di bawah nasi. Pengeluaran masyarakat untuk beras sebesar 27% dari pendapatan.

Sementara pengeluaran masyarakat untuk rokok mencapai angka 10% dari pendapatan. Angka tersebut di atas dari pengeluaran untuk bahan makanan seperti tempe, ayam, dan telur.

"Angka itu 6 kali pengeluaran masyarakat untuk tempe sebagai sumber protein masyarakat," terang Faisal.

Faisal juga menjelaskan bahwa dampak ekonomi rokok tidak terlalu besar. Sumbangan pendapatan rokok hanya 0,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Selain itu permasalahan rokok di Indonesia juga menyerang perokok anak. Angka perokok anak berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) naik dalam 5 tahun terakhir dari 7,2% pada tahun 2013 menjadi 9,1% pada tahun 2018.

Padahal, Faisal bilang kesehatan menjadi fokus bagi ekonomi dunia dengan adanya Human Capital Index (HCI). Hal itu memperlihatkan ke depan ekonomi akan berbasis pada sumber daya manusia.

"Kalau ingin mengembangkan ekonomi yang modal manusianya tinggi, jadi segala sesuatu yang mengganggu kualitas modal manusia harus kita hilangkan," jelas Faisal.

Asal tahu saja saat ini Indonesia menduduki peringkat 87 dari 126 negara berdasarkan HCI. Di kawasan Asia Tenggara Indonesia tertinggal dari Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Terdapat dua indikator yang diukur dalam penghitungan HCI. Indikator tersebut antara lain adalah pendidikan dan kesehatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×