kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menilai optimisme industri manufaktur


Rabu, 21 Februari 2018 / 10:42 WIB
Menilai optimisme industri manufaktur


| Editor: Tri Adi

Tidak ada keraguan terhadap peranan industri manufaktur bagi perekonomian Indonesia. Setidaknya ada tiga ukuran yang menggambarkan kontribusi industri tresebut. Diantaranya adalah sebagai pembentukan produk domestik bruto (PDB), penyerap tenaga kerja hingga meningkatkan nilai ekspor.

Pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa saat ini industri manufaktur menjadi kontributor utama dalam PDB nasional, menggeser sektor pertanian. Pada 2017, industri pengolahan berperan hingga 20,16% terhadap PDB. Dari beberapa jenis lapangan usaha, hanya industri pengolahan yang mampu berkontribusi hingga seperlima dari PDB. Sektor pertanian dan perdagangan masing-masing hanya mengisi 13%.

Sayangnya, peranan tersebut semakin menurun dari tahun ke tahun dan tentunya memunculkan kekhawatiran. Pada 2010, kontribusi industri manufaktur sebesar 22,04%; menurun menjadi 21,76% pada 2011. Tiga tahun berikutnya, kontribusi industri manufaktur masing-masing 21,45%; 21,03% dan 21,08%. Sejak 2015 hingga 2017, peranan industri manufaktur semakin mengecil, dari 20,99% menjadi 20,51% dan 20,16% pada 2016 dan 2017.

Dari sisi pertumbuhan, rata-rata pertumbuhan industri manufaktur di bawah pertumbuhan ekonomi. Maka wajar, jika pertumbuhan ekonomi nasional belum mampu bergerak dari 5% dan diiringi kemampuan menyerap tenaga kerja yang rendah.

Sepanjang 2011–2017, pertumbuhan rata-rata industri manufaktur sebesar 4,82%; sedangkan pertumbuhan PDB rata-rata 5,39%. Beruntung, pertumbuhan industri non-migas masih cukup tinggi, rata-rata 5,69% per tahun. Namun demikian, hanya lima kelompok industri yang mampu tumbuh di atas pertumbuhan industri manufaktur secara keseluruhan. Jenis industri tersebut merupakan industri berbasis konsumen seperti industri makanan dan minuman serta industri kimia, industri farmasi, dan obat tradisional.

Kedua, penurunan peranan industri manufaktur terhadap PDB, serta pertumbuhannya yang bergerak di bawah pertumbuhan ekonomi, memberikan sinyal kurang baik bagi penyerapan tenaga kerja. Hingga Agustus 2017, sektor industri mempekerjakan sebanyak 17 juta tenaga kerja atau 14,05% dari total penyerapan tenaga kerja. Sektor manufaktur menjadi penyerap tenaga kerja terbesar keempat setelah sektor pertanian; perdagangan; dan jasa kemasyarakatan. Jika industri manufaktur mampu tumbuh lebih cepat, maka penyerapan tenaga kerja berpotensi bisa naik lebih tinggi.

Ketiga, peranan industri manufaktur terhadap ekspor. Jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia (62%), India (55%), Thailand dan Vietnam (73%), kontribusi industri manufaktur terhadap ekspor Indonesia tergolong rendah, hanya sekitar 40%.

Optimisme dari global

Kekhawatiran terhadap penurunan performa industri manufaktur cukup jelas, melihat perannya yang signifikan terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja serta ekspor. Akan tetapi, ekonomi global melihat industri manufaktur Indonesia masih memiliki prospek cerah.

Laporan yang dikeluarkan oleh Deloitte Touche Tohmatsu Limited (DTTL) yang berjudul Global Manufacturing Competitiveness Index 2016 secara ringkas meranking industri manufaktur 40 negara, baik untuk kondisi saat ini maupun yang akan datang. Peringkat pertama ditempati China disusul Amerika Serikat dan Jerman. Sementara itu, industri manufaktur Indonesia berada pada peringkat 19. Posisi Indonesia di bawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura (12); Thailand (14); Malaysia (17) dan Vietnam (18).

Proyeksi 2020 menempatkan Amerika Serikat pada peringkat pertama; disusul China dan Jerman pada peringkat kedua dan ketiga. Peringkat industri manufaktur Indonesia diprediksi menjadi urutan ke 15 atau naik 4 peringkat. Peringkat Singapura turun menjadi 11; Thailand tetap pada peringkat 14; sedangkan Vietnam dan Malaysia masing-masing naik 4 dan 6 level menjadi 12 dan 13.

Laporan tersebut juga menyoroti performa manufaktur di Malaysia, India, Thailand, Indonesia, serta Vietnam dan menyebutnya dengan Mighty Five. Kelima negara tersebut menjadi representasi New China dalam hal biaya tenaga kerja murah, kemampuan produksi, profil demografi menguntungkan, pasar dan ekonomi tumbuh.

Ditempatkannya Indonesia pada Mighty Five harus menjadi perhatian bagi regulator, mengingat kekuatan Indonesia sebagian besar tertolong oleh upah buruh murah dan bonus demografi. Upah buruh Indonesia lebih murah seperlima dari tenaga kerja di China, karena oversupply tenaga kerja. Agar sampai pada peringkat 15 terbaik di dunia, industri manufaktur Indonesia harus bergegas. Ini akan tercapai jika ada dukungan dari pemerintah.

Sedikitnya, ada empat hal yang harus diperhatikan untuk bisa mengejar target tersebut. Poin pertama terkait dengan ketersediaan bahan baku, yang sebagian besar masih memasok dari impor. Padahal, dengan penguatan industri hulu maka masalah bahan baku lambat laun akan terselesaikan. Oleh karena itu, integrasi antara industri hulu dan hilir semakin mendesak. Ini bukan hanya mengurangi ketergantungan impor, tetapi juga memperkecil pengaruh nilai tukar tukar bagi industri.

Poin kedua berhubungan dengan penelitian dan pengembangan (research and technology, R&D), yang sekaligus menunjukkan sejauh mana inovasi dihasilkan. Hingga saat ini sektor industri sangat tergantung dengan teknologi impor, sehingga berpengaruh terhadap harga dan daya saing produk-produk baik di dalam maupun luar negeri. Peringkat indeks inovasi Indonesia pada 2017 berada pada peringkat 87 dari 127 negara; Malaysia (37); Thailand (51); dan Filipina (73).

Poin ketiga dihubungkan dengan ketersediaan pembiayaan. Suku bunga perbankan nasional masih sangat tinggi dibandingkan negara lain. Hal ini menyebabkan pemanfaatan sumber dana perbankan relatif terbatas. Ada kecenderungan dunia usaha menggunakan dana internal, walaupun dalam angka kecil. Upaya menggali dana dari penerbitan obligasi belum banyak dilakukan karena masih dangkalnya pasar keuangan domestik.

Poin terakhir adalah menjaga daya beli masyarakat. Konsumen utama produk industri manufaktur kebanyakan merupakan konsumen lokal, sehingga persoalan daya beli menjadi krusial. Oleh karena itu, perlu dijaga agar faktor pemantik inflasi tidak menjadi liar, termasuk intervensi pemerintah pada komponen barang yang mampu dikendalikan pemerintah (administered price).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×