kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyoal pemajakan e-commerce


Rabu, 27 Maret 2019 / 14:41 WIB
Menyoal pemajakan e-commerce


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Menjelang pemberlakuan aturan pajak atas pelaku usaha e-commerce pada 1 April 2019, sejumlah pihak kembali menyoal ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yang dikeluarkan di penghujung tahun 2018.

Untuk menyegarkan ingatan, aturan yang diteken Menteri Keuangan pada 31 Desember 2018 memberikan panduan atas pelaksanaan pemajakan e-commerce. Dalam aturan itu, pelapak di marketplace maupun penyedia platform seperti Bukalapak, Lazada, dan Tokopedia, harus menjalankan kewajiban pajak yang berlaku umum, yaitu pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Ini juga berlaku bagi pengguna media sosial.

Satu kewajiban tambahan diberikan bagi pelapak dan penyedia platform. Bagi pelapak diwajibkan untuk memberitahukan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) apabila belum memiliki NPWP, kepada penyedia platform. Sementara bagi penyedia platform diwajibkan melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan para pelapak kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Yang menjadi aneh adalah penolakan dari sebagian pihak atas peraturan ini. Pertama aturan ini dianggap membebani pelaku e-commerce khususnya pelaku usaha mikro dan kecil. Kedua, menyulitkan penyedia platform; Ketiga, menimbulkan ketidakadilan karena tidak mencakup e-commerce yang dilakukan melalui media sosial. Beragam penolakan ini cenderung minim substansi, dan lebih mencerminkan kurang pengertian serta rendahnya literasi pajak. Karena itu, mari kita bahas.

Keberatan pertama, pajak membebani sektor e-commerce. Faktanya, karena pajak adalah pungutan yang bersifat memaksa maka pajak membebani semua sektor, semua pelaku usaha, dan semua orang. Mengutip Justice Oliver Wendell Holmes Jr., pajak harga yang kita bayar untuk membangun peradaban.

Uang pajak itulah yang memungkinkan pemerintah mendanai pembangunan infrastruktur sehingga dapat menekan biaya logistik dan meningkatkan keuntungan pelaku e-commerce. Uang pajak juga memampukan pemerintah memperbaiki layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Ini membuat penduduk Indonesia menjadi lebih sehat, berpendidikan dan mengurangi penduduk miskin. Serta meningkatkan penduduk  middle class yang jadi basis pengguna platform e-commerce.

Ini belum menyebut fungsi pajak dalam menjaga keamanan, ketertiban, dan kestabilan sosial yang memungkinkan ekonomi Indonesia tumbuh dan maju serta hasilnya dinikmati bersama termasuk oleh pelaku e-commerce.

Hasil keseluruhan dari keseriusan pemerintah melakukan berbagai perbaikan inilah yang pada gilirannya tercermin pada valuasi perusahaan e-commerce hingga beberapa di antaranya berhasil mencapai level unicorn. Investor asing berani memberikan dana miliaran dolar ke perusahaan Indonesia karena melihat pasar dan ekonomi Indonesia terus berkembang. Jadi bagaimana mungkin pelaku e-commerce menolak upaya pemerintah meningkatkan kesadaran dan pemahaman pajak, termasuk dari pelaku usaha di sektor tersebut?

Salah pemahaman

Mungkin keberatan di atas timbul karena adanya salah paham. Pemerintah dianggap menetapkan pajak baru atas pelaku e-commerce. PMK itu hanya mengingatkan atau menegaskan kewajiban yang memang selama ini seharusnya dijalankan oleh para pelapak dan pelaku e-commerce. Pajak yang diwajibkan bagi pedagang di ekosistem marketplace juga diwajibkan bagi pedagang di ekosistem pasar lain mulai dari Pasar Tanah Abang hingga Pasar Turi, dan berlaku juga bagi pedagang di platform media sosial.

Argumen yang mengatasnamakan pelaku UMKM juga lemah karena statistik menunjukkan kepatuhan segmen UMKM sudah semakin baik. Saat ini semakin banyak pelaku UMKM yang terdaftar, membayar, dan melapor pajak memanfaatkan skema pajak sederhana dengan tarif sangat ringan 0,5% sesuai dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.

Keberatan kedua, kewajiban pelaporan dan memiliki NPWP menyulitkan pelaku usaha. Direktorat Jenderal Pajak diberi kewenangan meminta dan mendapatkan data pihak ketiga untuk keperluan pengawasan pajak. Kewenangan ini telah dilakukan terhadap lebih dari 60 pihak baik instansi pemerintah lain seperti Kementerian, Badan Pertanahan Nasional, Kepolisian, maupun swasta mulai dari perbankan hingga penyelenggara jaringan seluler seperti Indosat, Smartfren, dan XL Axiata. Tidak ada satupun dari instansi ini yang menyuarakan penolakan, karena semua menyadari pentingnya kerja sama dan kolaborasi bagi kemajuan perpajakan Indonesia.

Keharusan mencantumkan NPWP juga lumrah dijumpai dalam hampir semua transaksi keuangan mulai dari kredit barang hingga lelang barang. Mengapa pelaku e-commerce meminta pengecualian?

Keberatan ketiga, pelapak beralih ke media sosial. Keberatan ini dapat dipahami karena memang tidak ada pengaturan khusus terkait pedagang yang berjualan di media sosial. Ini bukan berarti pemerintah tidak dapat mengawasi mereka yang berjualan di media sosial.

Walau di satu sisi e-commerce di media sosial tidak melibatkan sistem sentral yang mencatat rekapitulasi transaksi sehingga menyulitkan pengawasan, di pihak lain media sosial sangat transparan karena menampilkan profil dan rekaman kejadian yang mudah ditelusuri.

Selain itu, upaya promosi dan pemasaran pasti memberikan indikasi yang dapat membawa hasil bagi upaya pengawasan kepatuhan pajak pelaku usaha yang menggunakan media sosial. Di samping itu ada juga teknologi dan sistem yang memungkinkan analitik platform media sosial dilakukan untuk mengawasi para pedagang media sosial.

Namun, yang mungkin menjadi penghalang terbesar bagi pertumbuhan e-commerce di media sosial adalah infrastruktur, kredibilitas, dan reputasi yang dimiliki platform marketplace. Dengan menjadi pelaku usaha yang semakin kredibel dengan melapor dan membayar pajak sesuai ketentuan, maka reputasi marketplace akan semakin bersinar dan semakin menarik baik bagi pelapak baru maupun pembeli potensial.

Pada akhirnya untuk mengembangkan ekonomi digital butuh kerja sama dan keterlibatan semua pihak. Selain memperhatikan kepentingan pelaku usaha, perangkat peraturan yang ada juga harus mampu melindungi kepentingan pemerintah (penerimaan pajak, pertumbuhan ekonomi) serta perlindungan konsumen (aspek keamanan dan kesehatan produk, garansi produk) dan mempertimbangkan perlindungan dan kelestarian lingkungan.♦

Immanuel Glenn Gerald Polii
Pemerhati Masalah Perpajakan, bekerja di Kementerian Keuangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×