Berita Market

Mercermati Tawaran IPO Produsen Cokelat dan Pengusaha Alat Berat

Senin, 04 Maret 2019 | 16:38 WIB
Mercermati Tawaran IPO Produsen Cokelat dan Pengusaha Alat Berat

Reporter: Krisantus de Rosari Binsasi, Wuwun Nafsiah | Editor: Wuwun Nafsiah

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banyaknya calon emiten yang antre melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) bisa menjadi momentum tepat para investor untuk mencoba peruntungan investasi pada saham-saham baru. 

Kepala Riset Koneksi Kapital, Alfred Nainggolan, mengatakan, saham-saham Initial Public Offering (IPO) menawarkan potensi pertumbuhan tinggi jika dibanding dengan saham-saham lama meski fundamentalnya positif.

Ambil contoh, saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI). Emiten yang sudah tercatat di BEI sejak 2003 itu memiliki pertumbuhan kinerja yang memuaskan. Tahun 2018, laba  bersih menyentuh angka Rp 25 triliun, tumbuh 21,2% year on year (yoy). “Kinerja BMRI sangat bagus, tetapi kalau beli harga sahamnya sekarang sudah tidak murah. Kita sudah tidak bisa menikmati harga saham pertamanya,” ujar Alfred.

Untuk itu, Alfred menilai waktu yang tepat untuk berinvestasi saham adalah saat IPO.  Dengan banyaknya IPO, investor dapat memilih saham-saham baru dengan fundamental bagus. Hal ini bisa dilihat secara historis.

Memilih saham IPO

Hampir semua saham IPO memang memberikan pertumbuhan tinggi. Tahun lalu, hampir 80% saham IPO mengalami autoreject. Tetapi hal ini tidak menjadi jaminan saham-saham tersebut akan terus menguat dalam jangka panjang. “Yang menjadi jaminan adalah bagaimana konsistensi pertumbuhannya,” lanjut Alfred.

Investor harusnya tidak hanya mengharap pertumbuhan harga saham yang signifikan, namun juga memperhatikan pola pergerakan jangka panjang. “Investasi saham itu polanya jangka panjang. Itu tidak bisa dilupakan,” tutur Alfred.

Kedua, investor harus melihat dari sisi bisnis dan operasional. Laporan keuangan tetap perlu diperhatikan.

Laporan keuangan bagus menandakan kondisi perusahaan yang sehat. Apalagi jika ditambah dengan produk perusahaan yang sudah dikenal, seperti PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk (GOOD). Meski tanpa melihat laporan keuangan perusahaan, investor sudah mengenal brand Garuda Food sebagai pemimpin pasar. 

Kepala Riset Ekuator Swarna Sekuritas, David Sutyanto, menambahkan, saham baru tidak bisa dilihat secara teknikal. Padahal, pola teknikal dapat menunjukkan tren pertumbuhan saham dan membantu investor mencari saham-saham bagus. Ini menjadi nilai minus jika dibanding dengan saham lama.  “Tetapi, saham lama kenaikan harganya tidak akan sebesar saham baru,” paparnya. 

Menurut Alfred, saham-saham perusahaan kecil akan lebih rentan terhadap turbulensi ekonomi, meski bukan berarti saham itu tidak menarik. Semua kembali lagi pada fundamental. “Perusahaan kecil punya risiko besar, tapi punya ruang pertumbuhan besar,” ungkap Alfred.

Tertarik membeli saham baru? Simak tawaran IPO dari dua perusahaan berikut ini.

  • PT Wahana Interfood Nusantara

PT Wahana Interfood Nusantara bersiap melepas 168 juta saham baru atau 33,07% dari modal ditempatkan dan disetor penuh dalam hajatan Initial Public Offering (IPO). Produsen coklat dengan merek dagang Schoko ini menawarkan saham dengan harga Rp 178–Rp 198 per saham. Dengan demikian perusahaan mengincar dana Rp 29,9 miliar–Rp 33,26 miliar dari IPO ini.

Untuk mempermanis tawaran IPO, Wahana juga menerbitkan 56 juta waran seri I yang menyertai saham atau setara 16,47% total jumlah saham ditempatkan dan disetor penuh. Waran seri I ini diberikan secara cuma-cuma kepada para pemegang saham baru. Nah, setiap pemegang tiga saham baru berhak mendapat satu waran seri I. Lalu setiap waran seri I memberi hak pemegangnya untuk membeli satu saham baru.

Dalam IPO ini, perusahaan menunjuk PT UOB Kay Hian Sekuritas sebagai penjamin emisi efek. Corporate Finance UOB Kay Hian Sekuritas, Rudi Ho menyatakan harga saham Wahana Interfood mencerminkan angka forward price earning ratio (PER) tahun 2021 pada kisaran 8,2 kali–9,1 kali.

Analis Panin Sekuritas, William Hartanto mengatakan, IPO Wahana cukup menarik. Sebab, dana hasil IPO akan digunakan untuk ekspansi.

Wahana akan menggunakan sekitar 23,03% hasil IPO untuk mengakuisisi tanah seluas 6.280 meter persegi di Sumedang, Jawa Barat. Lalu sekitar 15,81% dana akan dipakai untuk pembayaran uang muka kepada kontraktor pembangunan pabrik di Sumedang. Pembangunan pabrik sebesar 2.291,6 meter persegi itu akan dimulai Juni 2019. Sementara sisa dana sekitar 61,16% akan digunakan sebagai uang muka pembelian tiga unit mesin produksi.

Memang, persaingan usaha di sektor konsumer masih cukup ketat. Apalagi, produk Wahana belum terlalu dikenal masyarakat. Perusahaan saat ini masih berupaya untuk masuk dalam tiga besar penguasa pangsa pasar coklat dalam negeri. “Tetapi yang membuatnya menjadi menarik adalah niat untuk langsung ekspansi setelah mendapat dana IPO,” tutur William.

Muhammad Nafan Aji, Analis Binaartha Sekuritas, menambahkan, Wahana memasarkan produknya bukan hanya di dalam negeri tetapi juga untuk pasar ekspor. Porsi ekspor memang masih mini, yakni hanya sekitar 1% dari total penjualan.

Namun, Direktur Utama Wahana, Reinald Siswanto mengatakan, permintaan olahan cokelat dari pasar ekspor masih tinggi, begitu juga dengan pasar lokal. Makanya, perusahaan ingin menambah pabrik untuk memenuhi pertumbuhan permintaan.

Saat ini, Wahana memiliki dua pabrik dengan kapasitas produksi untuk powder sebesar 1.000 ton per tahun dan cokelat 5.000 ton per tahun pada 2018. Utilisasi pabrik mencapai 80%. Dengan pembangunan pabrik dan pembelian mesin baru, kapasitas produksi perseroan bakal meningkat menjadi 10.500 ton per tahun. “Perusahaan berkomitmen untuk memproduksi coklat yang berkualitas,” papar Nafan.

Nafan menilai, penawaran harga saham Wahana cukup wajar. Investor juga patut mencermati penggunaan dana IPO yang akan berdampak positif bagi kinerja perusahaan. “Jika animo investor kuat, harga saham bisa bergerak dinamis dengan kecenderungan menguat,” lanjutnya.

Secara industri, sektor konsumer memiliki prospek positif lantaran masih menjadi salah satu penopang ekonomi nasional. Untuk itu, Nafan menyarankan investor untuk membeli saham IPO Wahana untuk jangka pendek terlebih dahulu.

Menurut William, harga penawaran saham perdana Wahana Interfood cukup terjangkau dan layak dibeli untuk jangka pendek. “Karena saham IPO biasanya memang memberi keuntungan jangka pendek,” imbuhnya.

Jika tertarik, Wahana akan melakukan penawaran umum pada 11–13 Maret 2019. Perusahaan berharap dalam resmi melantai di BEI pada 20 Maret 2019.

  • PT Arkha Jayanti Persada

Dalam aksi IPO, PT Arkha Jayanti Persada akan melepas 500 juta saham baru atau setara 25% modal ditempatkan dan disetor penuh. Perusahaan yang bergerak di bidang industri manufaktur ini mematok harga IPO pada kisaran Rp 190–Rp 300 per saham. Dengan demikian, Arkha Jayanti menginginkan dana segar sekitar Rp 95 miliar–Rp 150 miliar. Perusahaan yang berdiri sejak 1999 itu menunjuk PT UOB Kay Hian Sekuritas sebagai penjamin emisi efek.

Dalam prospektus resminya, Arkha Jayanti akan menggunakan 70% dana hasil IPO untuk modal kerja, yakni untuk pembelian bahan baku dan bahan pembantu. Sedangkan 30% sisanya akan digunakan untuk membayar utang kepada bank dan supplier.

Arkha Jayanti memiliki utang Rp 212,34 miliar kepada Indonesia Exim Bank dan Rp 33,66 miliar kepada Bank MNC International. Utang tersebut digunakan untuk pembangunan pabrik, pembelian mesin, dan modal kerja. Sedangkan utang perusahaan kepada lima supplier mencapai Rp Rp 21,41 miliar. Nantinya, Arkha Jayanti akan melunasi sebagian utang bank senilai Rp 32,17 miliar dan utang supplier sebesar Rp 10,71 miliar.

Analis Reliance Sekuritas Indonesia, Kornelis Wicaksana memaparkan, Arkha Jayanti  merupakan perusahaan pembuat komponen alat berat, karoseri dump truck, karoseri baja, juga dalam bidang jasa alat angkutan tambang. Perseroan mengerjakan pekerjaan berdasarkan permintaan spesifik dari klien (custom order).

Perusahaan memiliki hubungan jangka panjang dengan berbagai pelanggan, baik perusahaan lokal swasta, BUMN, ataupun multinasional. Beberapa partner AJP adalah Komatsu Indonesia, Wijaya Karya dan PT Pindad.

Kornel mencatat, Arkha Jayanti berhasil meningkatkan penjualan secara signifikan dari Rp 53 miliar pada 2016 menjadi Rp 102 miliar tahun 2017. Hanya saja, penjualan Arkha Jayanti hingga Agustus 2018 memang cenderung stagnan dibanding periode sama tahun sebelumnya. “Dengan kinerja tersebut kami perkirakan pada akhir 2018 perseroan dapat mencetak penjualan sebesar Rp 105,7 miliar dengan kenaikan 3% dari tahun 2017,” tuturnya.

Memang, dalam tiga tahun terakhir, tingkat pengembalian laba terhadap aset perseroan terlihat negatif. Sebab, Arkha Jayanti mengalami kerugian dalam periode tersebut. Tetapi pada Agustus 2018, gross profit margin perusahaan naik tipis menjadi 16,87% dari 15,40% di Agustus 2017.

Menurut Alfred, saham sektor manufaktur terlihat kurang seksi bagi investor. Di dalam negeri, perusahaan sektor manufaktur sudah terlalu banyak sehingga persaingan pasti akan semakin sengit.

Jumlah perusahan yang tercatat di BEI pun terus bertambah sehingga membuat pilihan saham di sektor manufaktur semakin beragam. “Sebelum membeli, tidak hanya melihat track record perusahaan saja, tetapi cermati juga fundamentalnya,” tutur Alfred.

Alfred memberikan rekomendasi netral pada saham IPO Arkha Jayanti. Sementara Kornel memberikan rekomendasi buy saham Arkha Jayanti dengan target harga Rp 290 per lembar saham.

Jika ingin membeli saham Arkha Jayanti, perusahaan menggelar masa penawaran umum pada 4–6 Maret 2019. Selanjutnya, perusahaan akan resmi mencatatkan saham di BEI pada 12 Maret 2019.

Terbaru