kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pembelajaran dari skandal Facebook


Senin, 09 April 2018 / 14:37 WIB
Pembelajaran dari skandal Facebook


| Editor: Tri Adi

Dunia baru saja digemparkan oleh terungkapnya skandal Faceebook. Media sosial tersebut terjerat skandal penyalahgunaan data setelah perusahaan konsultan politik asal Inggris, Cambridge Analytica menggunakan data pengguna Facebook untuk kepentingan politik. Presiden Donald Trump menjadi klien dari konsultan tersebut untuk pemenangan pemilu presiden Amerika Serikat (AS) tahun 2016. Akibatnya kekayaan pendiri dan CEO Facebook Mark Zuckerberg hilang sekitar US$ 9 miliar atau Rp 123,82 triliun hanya dalam tempo dua hari saja.

Investigasi The New York Times dan Britain Observer menyebutkan Cambridge Analytica mampu membuat profil psikologi menggunakan 50 juta data pengguna Facebook. Profil didapatkan melalui aplikasi yang bisa memprediksi karakter seseorang. Aplikasi tersebut sudah diunduh oleh sekitar 270.000 pengguna. Tujuannya untuk memprediksi perilaku individu pemilih AS.  Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat (FTC) menyatakan kasus ini melanggar ketentuan dan berpotensi mendapatkan denda sekitar US$ 40.000 untuk setiap pelanggaran.

Lepas dari skandal ilegal tersebut, sejatinya  terdapat poin pembelajaran penting bagi dinamika demokrasi termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah urgensi politik digital sebagai strategi pemenangan dan pengelolaan demokrasi.

Dinamika kehidupan manusia zaman now tidak bisa terlepas dari dunia maya  atau digital. Dunia maya telah merebut ruang nyata manusia dan bahkan mampu mempengaruhi dinamika di dunia nyata. Kejadian di seluruh penjuru dunia tidak ada yang luput dari intaian dunia maya dan hanya dalam hitungan detik penyebarannya. Bukti sederhana akan ketergantungan manusia atas dunia maya adalah tatkala terjadi listrik mati atau koneksi internet terputus.  

Kondisi di atas tidaklah mengherankan. Indonesia dengan potensi demografinya juga menjadi surga bagi berkembangnya para netizen atau warganet. Survei dari  Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) 2016 menyebutkan bahwa pengguna internet sudah 132,7 juta orang dari total penduduk 256,2 juta orang . Sekitar 89% diantaranya aktif di media sosial atau medsos. Biasanya, para pengguna internet rata-rata menghabiskan waktu sekitar 4 jam 42 menit sehari. Sedangkan akses medsos sekitar 2 jam 51 menit per hari.  

Kebangkitan dunia maya khususnya di ranah media atau jurnalisme memberikan implikasi bagi media konvensional. Banyak media konvensional mengalami  senja kala. Sekitar 40 koran di Amerika telah menghadapi kebangkrutan. Puluhan koran dalam negeri juga sudah gulung tikar.

Dunia maya berperan strategis dalam menggerakkan gerakan dan perubahan, termasuk sosial politik.  Hal ini sebagaimana kesimpulan Tapscott (2008) melalui penelitian fenomena The Net Generation di 12 negara yang ada di tiga benua.  Kemenangan Obama dua kali sebelum Trump turut didukung oleh andil komunitas online dengan anggota lebih sati juta orang.

Dinamika dunia maya juga sangat keras dan kerap menunjukkan saling serang antar pihak. Hampir semua pihak pernah menjadi pelaku sekaligus korban bullying di dunia maya. Tidak sedikit ganasnya dunia maya berujung kepada ranah hukum. Pasal karet Undang Undang  Informasi dam Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait pencemaran nama baik dan ujaran kebencian bagai pisau bermata dua. Di satu sisi dibutuhkan guna mengatur kehidupan dunia maya. Di sisi lain dapat menjadi bumerang yang menakutkan bagi semua warganet.

Literasi Digital

Dinamika dunia maya yang didominasi politisasi SARA akan berpotensi memicu konflik. Scannell (2010) memaparkan bahwa konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu. Konflik berjalan mulai dari tahap diskusi. Jika masing-masing pihak mau menang sendiri, maka proses berlanjut ke tahap polarisasi. Perkembangan selanjutnya jika tidak ada lagi objektivitas, maka konflik memasuki tahap yang disebut segregasi (saling menjauh, putus komunikasi). Terakhir dan paling berbahaya jika segregasi tidak bisa ditangani secara baik, maka konflik memasuki tahap destruktif. Ini yang harus bisa dicegah.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) memprediksi potensi konflik pilkada sepanjang tahun 2018 ini bisa meningkat dibanding tahun 2017.  Polri telah telah memetakan terdapat 171 titik rawan konflik terkait penyelenggaraan pilkada serentak 2018 dan pemilu 2019. Daerah yang dinilai paling rawan konflik pada Pilkada 2018 antara lain Jawa Barat, Papua, dan Kalimantan Barat.

Kesadaran sekaligus kecakapan virtual mesti ditingkatkan melalui literasi digital kepada semua warganet. Dalam dunia maya, semua warganet dapat memposting atau mewartakan setiap hal yang diinginkan. Untuk itu pemahaman tentang netizen journalism mulai dari yang paling sederhana mesti diberikan.

Warganet mesti berperan aktif dalam pengumpulan, pelaporan, analisis, dan penyebaran berita dan informasi melalui dunia maya. Pada prinsipnya jurnalisme dunia maya sama dengan jurnalisme mainstream.  

Kode etik juga mesti dijunjung dalam berdinamika di dunia maya. Positivisme mesti dikembangkan di dunia maya. Prinsip bad news is good news harus diubah menjadi  good news is good news.  Warganet  juga  mesti berperan aktif dalam memberikan pencerahan serta mengajak warganet yang lain agar dapat lebih optimistis  dan lebih baik dalam berkomunikasi di dunia maya. Warganet juga penting memperhatikan balance information dalam memposting suatu informasi.

Perlu juga melakukan cek dan ricek supaya bisa terhindar dari budidaya hoaks. Kabar yang tidak jelas, janggal, tidak valid, dan tidak kredibel sumbernya mesti disikapi dengan hati-hati. Warganet penting tidak mudah melakukan share informasi sebelum membaca utuh dan mempertimbangkan validasi serta menilai potensi undur hoaksnya.

Hal yang tidak bertanggungjawab adalah ketika hoaks dan benih konflik yang mengusik iklim damai justru diproduksi di dunia maya. Dilema finansial dapat mendorong perbuatan memalukan tersebut. Era kini santer terdengar adanya bisnis jual beli buzzer, intelejen digital, dan sejenisnya. Warganet mesti cerdas dan diimbangi regulasi yang tegas.

Kemampuan netizen journalism yang sederhana bagi semua warganet dapat menjadi jalan mitigasi strategis dalam merawat damai di dunia maya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×