kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penerapan prinsip strict liability dalam kasus karhutla tidak tepat


Jumat, 19 Oktober 2018 / 10:33 WIB
Penerapan prinsip strict liability dalam kasus karhutla tidak tepat
ILUSTRASI. Kebakaran lahan


Reporter: Havid Vebri | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggunakan prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dalam penegakan hukum terhadap kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Penggunaan prinsip strict liability pada penegakan hukum kasus karhutla ini dinilai menyalahi prosedur hukum.

Ahli hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr Chairul Huda mengatakan penggunaan prinsip strict liability pada kasus karhutla harus diketahui terlebih dahulu penyebab kebakaran
 tersebut. Kalau tidak diketahui penyebab kebakaran tersebut, maka strict liability tidak bisa diterapkan.

“Ibarat ada perempuan hamil tanpa suami, harus dicari dulu orang yang menghamili. Setelah yang dicari tersebut ditemukan, barulah dia bisa diminta pertanggungjawabannya,” ujar Chairul Huda di Jakarta, Jumat (19/10).

Menurutnya, untuk menegakkan hukum pada kasus karhutla itu tidak serta merta bisa menggunakan prinsip strict liability. Karena harus diketahui dulu penyebab kebakarannya. “Kalau tidak bisa diketahui penyebabnya, maka kebakaran itu sama saja dengan musibah,” katanya.

Perlakuan prinsip tersebut, kata Chaerul Huda, berlaku pada kasus karhutla yang terjadi di hutan negara di Pulau Jawa maupun karhutla di lahan milik korporasi di luar Pulau Jawa. Kebakaran di hutan negara juga tidak serta merta diberlakukan strict liability. Karena harus dicari dulu penyebab kebakaran itu.

Sama juga yang terjadi di lahan konsesi milik korporasi, juga harus dilihat dulu penyebab kebakaran tersebut. “Apakah dibakar atau terbakar. Kalau terbakar kan pemilik konsesi justru merupakan korban?,” katanya.

Pakar hukum kehutanan Dr Sadino mengatakan perlakuan hukum yang diterapkan KLHK pada kasus kebakaran hutan negara di Pulau Jawa berbanding terbalik dengan kasus karhutla yang terjadi di luar Pulau Jawa. Di mana KLHK terus memperkarakan perusahaan-perusahaan yang dituding terlibat karhutla.

Sejak 2015 tercatat ada 171 korporasi yang dikenai sanksi administratif. Di antara 171 korporasi tersebut, sebelas korporasi digugat perdata. Lima di antaranya sudah memiliki kekuatan hukum tetap dengan nilai pertanggungjawaban korporasi senilai Rp1,4 triliun.

Sedangkan 12 kasus lainnya diproses pidana oleh penyidik KLHK. Penegakan hukum yang dilakukan KLHK ini menggunakan prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability). 

Secara teori, strict liability itu tidak bisa diterapkan pada kasus karhutla yang melibatkan korporasi hutan tanaman industri (HTI), korporasi perkebunan sawit, maupun kasus kebakaran di hutan negara.

“Karena (untuk menerapkan strict liability) persyaratannya sangat ketat. Tapi karena KLHK menerapkan strict liability korporasi HTI dan perkebunan sawit, demi persamaan hukum, seharusnya kebakaran yang terjadi di hutan negara juga bisa diterapkan strict liability,” tandas Sadino.

Alasannya, kata dia, hutan negara yang terbakar tersebut ada penanggungjawabnya. “Kalau memang itu strict liability ya jangan pilih-pilih dong. KLHK jangan menerapkan standar ganda,” kata Sadino.

Sadino pun mengatakan bahwa apabila pengusaha maupun korporasi bisa didenda hingga ratusan miliar rupiah, perlakuan yang sama seharusnya bisa diterapkan pada penanggungjawab hutan negara. “Ini semata-mata
demi persamaan hukum. Karena di mata hukum semua adalah sama,” tegasnya.

Bahkan, kata Sadino, seharusnya pejabat yang menjadi penanggungjawab hutan negara yang terbakar tersebut bisa dihukum lebih berat dan didenda lebih besar. Alasannya, kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran di hutan negara tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan kebakaran di HTI maupun kebun sawit.

Sebagai perbandingan, KLHK menghitung kerugian akibat kebakaran di kebun sawit sekitar Rp 500 miliar untuk lahan seluas 2.000 hektare (ha). 

“Tinggal dibandingkan saja dengan luas hutan negara yang terbakar. Bahkan kalau di kebun itu kan tidak seperti di hutan Taman Nasional, karena di situ lebih komplek lagi. Karena jenis tumbuhan maupun hewan yang ada di dalamnya pasti banyak yang mati. Logikanya itungannya lebih banyak jika dibandingkan dengan kerugian di kebun sawit atau HTI,” papar Sadino.

Walaupun secara hukum penanggungjawab hutan negara yang terbakar bisa digugat, namun dalam sejarah hukum di Indonesia tidak pernah ada pejabat yang dihukum maupun didenda akibat hutan negara terbakar. Sebab KLHK tidak pernah memperkarakan hutan negara yang terbakar.

Menurut Sadino, masyarakat bisa menuntut KLHK melalui class action atau melalui gugatan perwakilan. Cara lain yakni bisa melalui citizen law suit (CLS). Citizen law suit yakni mekanisme bagi warga negara untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara.

“Gugatan itu diperlukan supaya KLHK tidak pilih-pilih. Di saat taman nasional kebakaran tidak ada proses, tapi begitu yang terbakar HGU langsung diproses. Seakan-akan kalau ada yang nanam di HTI dan kebun
sawit sebagai penjahat lingkungan. Sebaliknya yang mengelola hutan negara bukan penjahat lingkungan,” katanya.

Guru besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto Santosa mengatakan, walaupun ada celah hukum untuk menggugat KLHK, selama tidak ada yang menggugat berarti tidak ada masalah. Untuk kasus kebakaran hutan negara, yang 
bisa menggugat KLHK adalah kelompok masyarakat yang dirugikan. 

“Jadi yang bisa mengguggat adalah masyarakat yang terdampak kebakaran itu. Bisa LSM, kelompok masyarakat atau bisa juga organisasi,” katanya.

Dalam kesempatan tersebut, Yanto Santosa juga mengatakan bahwa kerugian akibat kebakaran hutan secara ekonomi bisa dihitung dengan menggunakan pendekatan langsung dan tidak langsung.

Kerugian langsung yakni semua yang terbakar di lokasi kebakaran. Misalnya ada kayu, tanaman obat, hewan, dan lainnya. Sementara kerugian tidak langsung berupa dampak asap yang ditimbulkan akibat kebakaran tersebut.

“Misalnya mengganggu penerbangan atau tidak. Apakah ada warga yang sakit akibat asap atau tidak. Tapi kalau tidak ada yang menggugat, ya tidak ada yang mengitung,” kata Yanto Santosa.

Diketahui, dalam bulan September dan Oktober ini setidaknya terjadi tiga kebakaran hutan di tiga kawasan hutan negara. Kebakaran terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Kabupaten Kuningan,
Jawa Barat. Api membakar kawasan hutan Gunung Ciremai mencapai 1.290 hektare (ha). 

Api juga membakar kawasan Kebun Raya Kuningan sekitar 19 ha. Kebakaran juga terjadi di Gunung Sumbing di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah yang merupakan hutan lindung. Tak hanya di Gunung Ciremai dan Gunung Sumbing, kebakaran juga melanda hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu di wilayah Boyolali, Jawa Tengah.

Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu (BTNGMb) Edy Sutiyarto mengatakan hingga Rabu (17/10) total lahan yang terbakar mencapai sekitar 400 ha. Kebakaran kawasan hutan lereng Gunung Merbabu di wilayah Getasan Kabupaten Semarang ke arah Ampel Boyolali. Jarak lokasi kebakaran dari permukiman penduduk rata-rata lebih dari 1 kilometer.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×