Sumber: Kompas.com | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) sebagai salah satu sektor penopang dalam perekonomian menghadapi sejumlah tantangan baik dari sisi eksternal maupun domestik.
Penurunan permintaan ekspor dari negara mitra dagang utama, seperti Amerika Serikat (AS) yang mengenakan tarif hingga 32% pada produk tekstil tertentu, semakin diperberat oleh wacana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk Benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY), yang merupakan bahan baku penting bagi industri tekstil berbasis poliester.
Direktur PT Sipatamoda Indonesia, Ian Syarif, mengatakan, POY dan DTY digunakan secara luas sebagai input utama dalam proses pembuatan kain sintetis dan produk tekstil lainnya.
Baca Juga: Revisi Beleid Impor Berpotensi Selamatkan Industri Tekstil
Ketersediaannya yang stabil dan kompetitif sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan dan efisiensi industri hilir, seperti garmen, konveksi, dan tekstil rumah tangga.
Dalam konteks ini, kapasitas produksi nasional untuk POY dan DTY saat ini masih memerlukan penguatan, terutama dalam aspek volume pasokan, konsistensi kualitas, dan keterjangkauan harga.
“Industri sangat memahami pentingnya instrumen trade remedies seperti BMAD untuk melindungi produsen dalam negeri. Namun, pelaksanaannya perlu mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan hulu dan hilir agar tidak menimbulkan tekanan berlebih pada pelaku usaha, khususnya sektor hilir yang padat karya,” ujar dia dalam keterangan resmi, Selasa (6/5/2025).
Menurut data yang dihimpun dari berbagai perusahaan tekstil di sentra industri nasional, peningkatan bea masuk atas POY dan DTY berpotensi berdampak pada struktur biaya produksi.
Baca Juga: Kemenperin Targetkan Restrukturisasi Mesin untuk 21 Industri Tekstil dan Alas Kaki
Ini pada akhirnya memengaruhi daya saing produk tekstil nasional, baik di pasar domestik maupun ekspor.
Dalam laporan akhir penyelidikan oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), diusulkan pengenaan BMAD dengan kisaran tarif hingga 42,30%.
Terkait hal ini, Ian menuturkan, pihaknya bersama para pelaku industri telah menyampaikan petisi, sebagai bentuk aspirasi konstruktif yang mencerminkan harapan agar kebijakan pengendalian impor dilakukan secara proporsional dan berdasarkan peta kapasitas nasional.
Petisi tersebut telah ditandatangani oleh lebih dari 101 perusahaan industri TPT nasional, yang menyampaikan perlunya pendekatan kebijakan yang memperhatikan ketersediaan bahan baku bagi sektor hilir, sekaligus tetap memberi ruang bagi tumbuhnya industri bahan baku domestik.
Baca Juga: Revisi Beleid Impor Berpotensi Selamatkan Industri Tekstil
“Kami percaya, dengan kebijakan yang akomodatif dan berbasis data, Indonesia dapat menjaga keseimbangan antara perlindungan industri dalam negeri dan keberlanjutan ekosistem industri tekstil secara menyeluruh,” tambah Ian.
Sebagai informasi, industri TPT saat ini menyerap lebih dari 3 juta tenaga kerja langsung, berkontribusi signifikan terhadap ekspor non-migas, serta memiliki peran penting dalam pembangunan industri manufaktur nasional.
Oleh karena itu, sinergi antara hulu dan hilir menjadi kunci dalam menghadapi tantangan global sekaligus menjaga ketahanan industri nasional.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Industri Tekstil dan Garmen Perlu Perlindungan di Tengah Tantangan Global dan Domestik", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2025/05/06/173650626/industri-tekstil-dan-garmen-perlu-perlindungan-di-tengah-tantangan-global-dan?page=all#page2.
Selanjutnya: 7 Perusahaan Tambang Ini Wajib Jalankan Proyek Hilirisasi Batubara
Menarik Dibaca: 4 Varian Micellar Water Wardah Sesuai Jenis Kulit untuk Hapus Makeup dan Kotoran
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News