kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rhenald Kasali: BUMN tidak lagi lazy company


Selasa, 16 April 2019 / 22:48 WIB
Rhenald Kasali: BUMN tidak lagi lazy company


Reporter: Havid Vebri | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. BUMN dinilai sudah mampu memberikan kontribusi ekonomi. Ada banyak fakta BUMN mulai bergerak, tidak lagi menjadi lazy company, dan mulai berkontribusi besar pada perekonomian.

Pandangan tersebut disampaikan oleh Guru Besar Universitas Indonesia, Rhenald Kasali menyikapi tudingan bahwa BUMN tidak memberikan kontribusi dan salah kelola. 

Ia mencontohkan kontribusi Angkasa Pura II dalam membuka akses daerah-daerah terpencil, seperti mengelola Bandara Silangit dan Banyuwangi yang kini telah diperbesar. Pekerjaan yang kira-kira swasta tidak berani masuk dan pemerintah daerah juga ingin melepas, kini ditangani oleh BUMN. 

"Saat ini BUMN juga tengah mengembangkan bandara di Purbalingga, bayangkan bertahun-tahun ekonomi sudah berkembang di sana, namun masih kurang perhatian untuk pembangunan bandara di wilayah itu. Jalan tol dibangun juga karena pihak swasta tidak ada yang berminat untuk itu, maka di situ lah BUMN masuk,” katanya, Selasa (16/4).

Ia juga menilai, BUMN turut aktif menjalankan amanah pasal 33 konstitusi, yakni dengan mengambil alih kepemilikan asing. Contohnya pengelolan Freeport, Blok Mahakam, dan Blok Rokan yang kini sudah resmi diambil alih oleh BUMN. Menurut Rhenald, BUMN telah menjalankan peran ini dengan baik.

Terkait tudingan miring terhadap holding BUMN, menurutnya, holding justru membantu membuat BUMN lebih besar, dan memberikan kemampuan untuk melakukan financial laveraging. Laveraging itu berarti menjadi lebih besar, karena kapasitasnya menjadi lebih besar. 

Ia mencontohkan di bisnis penerbangan. Selama ini ada anggapan Garuda Indonesia tidak akan pernah untung sampai kapanpun karena load factor-nya harus mencapai setidaknya 120%. 

Menurutnya, anggapan itu muncul karena hanya melihat keuntungan bisnis Garuda dari angkutan penumpang. Padahal, bisnis terbesar airlines ada di jasa cargo dan selama ini cargo yang menikmati bukan airlines, bukan juga Angkasa Pura. 

Menurutnya, yang menikmati adalah pihak asing di Indonesia. Mereka memiliki perusahaan penerbangan yang khusus mengangkat cargo. "Mereka juga mempunyai pelabuhan yang khusus spesialis mengenai cargo,” Papar Rhenald. 

Dalam hal ini, Indonesia perlu belajar dari holding penerbangan seperti yang dilakukan Singapura. Bila Singapore Airlines masuk ke sebuah negara, tidak hanya Singapore Airlines yang akan masuk, tetapi juga airport-nya. Makanya airport Singapore bisa mengelola airport lain di dunia. 

“Dengan holding mereka bisa menjamin, kalau saya mengelola airport di negara Anda, saya akan bawa cargo, saya akan bawa penumpang. Bisa seperti itu,” ujarnya.  

Menurutnya, Indonesia sangat mungkin melakukan hal serupa bila airport dan airlines saling bersinergi. "Selama ini mainnya sendiri-sendiri, airport sama airlines saling injek-injekkan. Sekarang harus sinergi, sehingga dengan begitu menjadi kuat, besar, dan kita tidak ditertawakan lagi oleh negara tetangga. Airlines kalau hanya mengandalkan passenger sampai kapan pun tidak akan bisa untung,” ujar Rhenald.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×