kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,67   3,65   0.41%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Beban maskapai membengkak akibat pelemahan rupiah


Minggu, 25 Maret 2018 / 21:57 WIB
Beban maskapai membengkak akibat pelemahan rupiah
ILUSTRASI.


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berdampak pada sejumlah industri yang sebagian besar bebannya berasal dari mata uang asing, sementara pendapatannya berasal dari mata uang rupiah. Dampak ini salah satunya dialami oleh industri penerbangan dalam negeri.

Dampak negatif terbesar terutama akan dihadapi oleh maskapai yang sebagian besar melayani penerbangan dalam negeri seperti Sriwijaya Air Group. Sementara hampir seluruh beban yang dikeluarkan perusahaan dalam dollar AS.

"Dampaknya pelemahan rupiah ini sangat besar ke bisnis kami karena hampir semua biaya yang kami keluarkan dalam dollar AS, sedangkan earning kami sebagian besar dalam rupiah," kata Senior Manager Corporate Communication Sriwijaya Air Group Agus Soedjono, Jumat (23/3).

Biaya operasional yang harus ditanggung Sriwijaya Air Group mulai dari sewa pesawat, pemeliharaan armada, bahan bakar fuel, dan take off/ landing (terbang/landing) menggunakan dollar AS. Sementara penerbangan internasional reguler yang dilayani maskapai ini hanya dua rute, salah satunya Jakarta-Dili.

Guna menyiasati dampak dari pelemahan rupiah tersebut, Sriwijaya Air Group hanya bisa melakukan efisiensi internal. Sementara untuk menaikkan tarif tiket tidak bisa dilakukan karena otoritasnya ada di pemerintah. "Kami hanya bisa melakukan efisiensi internal tanpa mengurangi safety. Dan lewat asosiasi, sudah kami coba ajukan untuk menaikkan batas bawah tarif tiket," jelasnya.

Sementara, bagi Garuda Indonesia, dampak negatif dari pelemahan rupiah tersebut belum terlalu besar. Meskipun sekitar 70% beban yang harus dikeluarkan maskapai ini dalam mata uang asing, namun perusahaan juga diuntungkan dari pelemahan itu karena 30% layanan perusahaan adalah penerbangan internasional. Sehingga sekitar 50% pendapatannya berasal dari layanan tersebut.

"Jadi sebetulnya buat Garuda Indonesia, kondisi ini belum terlalu punya dampak negatif ke kinerja keuangan. Namun, yang perlu kami pastikan adalah bagaiman agar kondisi itu tidak menyebabkan pelemahan permintaan terhadap trafik penumpang," kata Pahala N Mansury, Direktur Utama Garuda Indonesia.

Pahala mengatakan, penerbangan internasioal Garuda Indonesia tahun lalu juga lebih baik dari penerbangan domestik. Penumpang pada rute intrenasional mengalami pertumbuhan 20% , sedangkan domestik hanya naik 8%. Garuda Indonesia hanya mengharapkan, pelemahan nilai tukar rupiah tersebut tidak menyebabkan penurunan daya beli masyarakat.

Senada, bagi Airasia Indonesia, pelemahan rupiah juga memberikan dua dampak. Di satu sisi, beban membengkak lantaran sebagian besar komponen biaya dalam mata uang asing, tetapi disisi lain juga diuntungkan karena sebagian besar layanan maskapai ini dalah penerbangan internasional. "Kami lumayan banyak revenue dalam forex juga," kata Dendy Kurniawan, Direktur Utama AirAsia Indonesia.

Saat ini, AirAsia Indonesia tercatat memiliki 15 armada pesawat dengan tipe yang sama yakni Airbus 320. Lima diantaranya dimiliki sendiri dan selebihnya merupakan pesawat sewa. Armada itu digunakan untuk melayani 20 rute penerbangan internasional dan 7 rute domestik.

Dendy sebelumnya bilang, pihaknya memang lebih memfokuskan ekspansi rute internasional karena perusahaan menargetkan ingin menjadi maskapai dengan international conectivity terbesar di Asia. Sementara terkait beban dalam mata uang asing, maskapai ini akan melakukan strategi hedging.

Sementara itu, asosiasi maskapai Indonesia National Air CArriers Association (INACA) telah mengajukan agar Kementerian Perhubungan kembali mempertimbangkan kenaikan tarif batas bawah (TBB) tike pesawat untuk penumpang domestik. Pasalnya, beban yang ditanggung maskapai terus meningkat.

"Penyesuaian tarif batas bawah ini merupakan sesuatu hal yg perlu bisa dipertimbangkan kembali karena penyesuaian TBB terakhir kali dilakukan pada Januari 2016. Sementara kondisi saat ini sudah sangat berbeda dengan tahun itu, harga fuel berbeda dan nilai tukar rupiah juga sudah berbeda," kata Pahala yang juga merupakan ketua INACA.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×