kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bisnis radio makin berat


Selasa, 23 Agustus 2016 / 18:58 WIB
Bisnis radio makin berat


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

JAKARTA. Tidak bisa dipungkiri jumlah pendengar radio siaran terus menyusut. Berdasarkan survei Nielsen 2014, pendengar radio turun hingga 3% per tahun. Sebagai media promosi atau iklan, radio hanya memiliki porsi penetrasi 30% dibanding televisi, majalah dan media lainnya.

Kenyataan minat pengiklan memakai jasa radio untuk berpromosi yang menurun menjadi pil pahit yang harus para pengelola studio radio siaran. Akibatnya, omzet terjun bebas karena pengiklan minim. Miftah Sunandar, Presiden Direktur PT Miftah Putra Mandiri, perusahaan yang menaungi Radio MPM Cemerlang, tidak memungkiri bahwa dalam kondisi pelemahan ekonomi, omzet merosot tajam. “Penurunan omzet tidak hanya di radio penyiaran tapi semua bisnis media dari koran, majalah sampai televisi sama mengalami,” katanya tanpa menyebut berapa jumlah penurunan omzet.

Meski demikian, operasional  studio radio yang berlokasi di Jalan Arief Rahman Hakim, Kota Depok, ini masih terbilang berjalan normal. Cuma, radio ini terpaksa melakukan penyesuaian, misalnya mengurangi jumlah dan frekuensi siaran dari penyiar. Tadinya setiap dua jam sekali ada pergantian penyiar. Kini, seorang penyiar bisa memandu acara dalam beberapa sesi. “Sebelumnya ada 12 penyiar, sekarang tinggal empat penyiar,” ungkap Miftah.

Pengurangan jumlah penyiar ini tidak semata-mata demi efisiensi biaya operasional, namun lebih kepada adaptasi terhadap kebutuhan yang berkembang. Sekarang ini, Miftah bilang, tren pendengar radio lebih menyukai pemutaran lagu yang lagi hits maupun lagu lawas secara non-stop. Berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, penyiar masih dominan. Sehingga, wajar saja bila jumlah penyiarnya banyak karena mengikuti program siaran.

Selain itu, manajemen bisnis radio juga kompleks dan membutuhkan investasi besar. Paling berat adalah menutup biaya operasional bulanan. “Biaya operasional kami minimal Rp 50 juta per bulan,” paparnya. Untuk listrik saja, Miftah memerinci, harus menganggarkan Rp 16 juta. Itu belum termasuk telepon, gaji penyiar, reporter, staf, biaya pemasaran, dan kegiatan off-air.

Hal senada diutarakan Kartono, pengelola Radio Suara Bekasi, yang mengakui pesatnya pertumbuhan internet, streaming video, dan televisi menjadi tantangan besar bagi radio di masa kini. Tak hanya dalam mencari pendengar, melainkan rekanan berpromosi. “Jatuh bangun di industri radio sudah biasa,” tuturnya.

Kartono menjelaskan, untuk berinvestasi di stasiun radio komersial, modalnya pun tidak sedikit. “Modal awal untuk mendirikan stasiun radio siaran sekitar Rp 3 miliar–Rp 5 miliar,” sebut pengurus KNPI Kota Bekasi ini. Di sisi lain, balik modal di bisnis radio memakan waktu cukup lama. Bahkan, risiko tidak bisa balik modal alias bangkrut pun besar akibat salah kelola dan konflik internal.

Ujung-ujungnya, stasiun radio berhenti siaran atau jika beruntung dijual ke investor lain. Dalam situasi ekonomi yang berat, pengurangan pegawai dan pembatasan jam operasional radio menjadi opsi efisiensi anggaran. “Banyak radio yang nonstop memutar lagu itu bisa jadi buat menekan biaya penyiar,” ungkap penyiar yang mengawal isu-isu pemerintahan ini.

Beratnya mengelola studio radio di era digitalisasi juga sempat menimpa Radio Suara Bekasi yang mengudara di frekuensi AM 855, beberapa tahun lalu. Awalnya, studio radio yang berkantor di Jalan Prambanan Raya, Rawalumbu Utara, Kota Bekasi, ini bernama Kabar 4. Perubahan ini terjadi pada 2014, berselang setahun setelah beroperasi.
Meski sudah berganti brand, Kartono menyebutkan, dana yang diinvestasikan senilai Rp 3 miliar belum juga balik modal. Salah satunya adalah pendapatan iklan yang belum maksimal. Idealnya, pendapatan iklan harus di atas 50% dari total pendapatan perusahaan. “Kalau dapat iklan besar tapi sekali-kali, pasti berat. Iklan itu harus masuk berkesinambungan,” terang Kartono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×