kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bisnis SMS dan voice terancam gulung tikar


Selasa, 18 Desember 2012 / 11:38 WIB
Bisnis SMS dan voice terancam gulung tikar
ILUSTRASI. Jadwal kualifikasi Piala Dunia 2022 Polandia vs Inggris: The Eagles adang Three Lions


Reporter: Andri Indradie | Editor: Asnil Amri

JAKARTA. Zaman keemasan perusahaan operator telekomunikasi tampaknya akan berakhir, terutama bisnis jasa layanan suara (voice) dan pesan singkat (sms). Kini, masa-masa kejayaan bisnis operator telekomunikasi bakal digantikan oleh pemain penyedia layanan pesan via internet yang tren atau disebut Over-the-Top (OTT).

Bayangkan! Hasil riset Ovum.com menyebutkan, potensi kerugian perusahaan operator telekomunikasi mencapai Rp 220 triliun (US$ 23 miliar) sepanjang 2012 ini. Kerugian ini kemungkinan bakal bertambah hingga 2016 yang mencapai Rp 555 triliun (US$ 58 miliar).

Alex Janangkih Sinaga, Direktur Utama Telkomsel, mengatakan, operator telekomunikasi yang merugi akibat mekarnya bisnis OTT itu akan terasa lebih besar di Eropa dan Asia Pasifik. "Termasuk Indonesia yang punya pangsa pasar sekitar 250 juta pelanggan," ujar Alex yang juga Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) ini, Selasa (18/12) di Jakarta.

Para pemain OTT ini antara lain Google, Microsoft, Apple, Yahoo, Facebook, Research in Motion, dan sebagainya. Para pelanggan memang getol mengakses internet, dan banyak bermigrasi ke layanan Google Voice, Blackberry Messenger, WhatsApp, Facebook, atau Skype.

Di seluruh dunia, saat ini pelanggan BBM (BlackBerry Messenger) sudah mencapai sekitar 60 juta pelanggan, dan WhatsApp 100 juta pelanggan, dan Skype 800 juta pelanggan. Sementara Yahoo Messenger 455 juta pelanggan, Google Voice satu juta pelanggan, dan Facebook lebih dari satu miliar pelanggan.

Dian Siswarini, Chief Technology & Digital Services Officer PT XL Axiata Tbk berpendapat, perusahaan operator telekomunikasi memiliki empat pilihan.

Pertama, mengabaikan OTT. Kedua, memblokir seluruh layanan OTT. Ketiga, bermitra dengan OTT. Atau, keempat, mengembangkan layanan OTT buatan sendiri. Hal ini menjadi dilema bagi perusahaan operator telekomunikasi, lantaran layanan tradisional voice maupun sms masih menjadi opsi sekunder bagi para pelanggan saat ini.

Director & Chief Commercial Officer PT Indosat Tbk Erik Meijer memilih untuk menyatukan konsep dengan OTT. Pasalnya, kata Erick, tanpa ada konten, data tak lagi diperlukan. "Tapi, ekspansi jaringan tetap jalan," ujarnya.

Hasil penelitian MobileSquared menunjukkan, pengguna telepon pintar (smartphone) diperkirakan meningkat dari 276,8 juta di 2012 menjadi 1,32 miliar pada 2016. Sepanjang tahun ini saja, sekitar 20% dari total pengguna smartphone secara global sudah mengakses OTT.

Pada 2016, pengakses layanan OTT bisa mencapai 45% dari total pengguna smartphone secara global. Pangsa pasar OTT kemungkinan mencapai US$ 166,5 miliar di 2016. Para pengguna layanan voice OTT yang mampu mengakses telepon genggam atau seluler akan naik dari 68,6 juta (2012) menjadi 434,7 juta empat tahun kemudian.

Sementara layanan voice OTT yang bisa akses ke jaringan tetap alias fixed telephone naik dari 49,8 juta ke 132 juta. Syakieb Sungkar, Direktur Sales Axis Telecom menilai, OTT sebenarnya bukan sekadar value added sevices (VAS) saja. Oleh karena itu, menurut Syakieb, sinergi antara OTT dan operator telekomunikasi sangat penting. "Sinergi ini bisa kombinasi revenue sharing, retention program, co-branding, dan up-lift brand," tuturnya.

Regulasi di Indonesia

Celakanya, aturan hukum yang mengatur tentang OTT saat ini masih dipelajari oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Fetty Fajriati Miftach, Anggota Komite BRTI bilang, OTT masih dikaji apakah masuk sebagai network provider atau service provider.

Kalau OTT masuk sebagai service provider, maka harus didefinisikan ulang apakah OTT sebagai ISP, NAP, penyelenggara VoIP atau ITKP, komunikasi data, atau apa. Tapi, kata Fetty, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012, penyelenggara sistem elektronik berkepentingan publik harus menempatkan data center dan data recovery center di Indonesia.

"Jadi, untuk tahap awal, OTT ini harus menempatkan data center di Indonesia. Sementara, jika ada teminasi voice atau sms dari OTT ke jaringan tetap atau seluler, maka OTT juga harus mengikuti aturan interkoneksi berbasis biaya," tegas Fetty.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×