kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45918,55   -16,97   -1.81%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kisruh beleid pangan tiada habisnya


Kamis, 12 April 2018 / 13:11 WIB
Kisruh beleid pangan tiada habisnya
ILUSTRASI.


Reporter: Abdul Basith, Lidya Yuniartha | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ibarat dua kutub magnet yang berbeda. Dua kementerian yang bersinggungan dengan beleid pangan yaitu Kementerian Pertanian (Kemtan) dan Kementerian Perdagangan (Kemdag) saling tarik menarik tanpa mau ada yang mengalah.

Kemtan yang bertugas mengawal produksi pangan nasional, mengklaim bahwa pasokan pangan di dalam negeri aman. Sedangkan Kemdag yang bertugas mengawal harga, bilang bahwa tingginya harga pangan di lapangan menjadi bukti kurangnya pasokan di dalam negeri. Karena itu kebijakan impor menjadi solusi yang dipilih.

Dua kementerian ini sering saling berseberangan pendapat soal data pangan. Alih-alih berupaya menyelaraskan data dan regulasi, kedua instansi ini tampak berjalan sendiri-sendiri.

Ujungnya, kisruh beleid pangan merugikan masyarakat. Tak jarang, kesalahan pengambilan kebijakan memicu kelangkaan bahan pangan, hingga lonjakan harganya.

Sejumlah kasus bisa menjadi tolok ukur dan gambaran bagaimana dua kementerian itu tidak sinergis dalam menjalankan fungsi pengendalian harga dan menjaga produksi pangan. Contoh terbaru kebijakan Kemdag yang memberikan izin impor gula mentah untuk konsumsi sebanyak 1,8 juta ton tahun ini. Kemtan secara tegas menolak langkah ini karena stok dalam negeri dianggap mesih cukup.

Direktur Jenderal Perkebunan Kemtan Bambang sebelumnya menyebut stok gula lokal masih ada 800.000 ton dan sudah ideal memenuhi kebutuhan dalam negeri. Apalagi, dalam waktu dekat petani tebu sudah mulai masuk musim giling tebu.

Namun, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemdag Oke Nurwan bersikukuh, langkah impor ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan dan stabilitas harga gula sepanjang tahun ini.

Untuk komoditas beras, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam berbagai kesempatan menyebut pasokan beras dari petani mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri sehingga tak perlu impor. Bahkan dalam analisa Kemtan, setiap bulan tersedia stok beras sebanyak 2,3 juta ton.

Namun, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pada akhir tahun lalu justru menerbitkan izin impor beras sebanyak 500.000 ton dengan alasan untuk menjaga pasokan Cadangan Beras Pemerintah. Komunikasi yang buruk juga keduanya berulang pada komoditas bawang putih.

Perlu otoritas pangan

Pengamat Pertanian yang juga Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyebut, kekacauan kebijakan pangan dari Kemdag dan Kemtan berpangkal dari berbedanya tujuan antara dua institusi ini.

Padahal, mestinya Kemdag dan Kemtan memiliki tujuan yang sama yakni memenuhi kebutuhan pangan nasional sehingga tidak menimbulkan gejolak harga. "Pemerintah berusaha mengintervensi harga, kemudian bercita-cita swasembada disitulah titik tata niaga jadi kacau," ujar Dwi Andreas, Rabu (11/4).

Menurut Dwi, jika kemudian hal itu dibiarkan berlarut-larut maka akan mempengaruhi sistem pengelolaan pangan nasional. Selain mengacaikan produksi, juga akan ada kekacauan yang membuat proses tata niaga pangan menjadi terlambat.

Untuk itu Dwi menyarankan dibentuknya Badan Otoritas Pangan. Badan tersebut didirikan dengan tugas khusus mengurusi masalah pangan tanpa terkait kepentingan dalam kementerian.

Dwi juga menyarankan pemerintah memperbaiki data pangan. Sebab data pangan selalu menjadi akar persoalan. Data pangan yang valid juga menjadi kunci menentukan kebijakan tata niaga pangan yang tepat. Sayang, kini urusan data itu masih belum diselesaikan pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×