kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,65   -6,71   -0.72%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Senjakala bisnis migas di Indonesia


Selasa, 16 Februari 2016 / 12:34 WIB
Senjakala bisnis migas di Indonesia


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Harga minyak dunia yang kini jatuh pada kisaran US$ 27 per barel sampai US$ 30 per barel mengingatkan memori kita pada harga minyak tahun 80-an. Ini pula yang menyebabkan kebangkrutan bisnis migas. Di sisi lain kondisi ini merangsang perusahaan migas melakukan konsolidasi.

Perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) minyak dan gas mulai kelimpungan akibat harga minyak mentah terus longsor di bawah US$ 30 per barel.  Sebagian KKKS bahkan sudah memutuskan menunda investasi. Sebagian yang lain mencoba bertahan dengan efesiensi, termasuk mengurangi jumlah karyawan.

Semuanya mereka lakukan agar tetap bisa bertahan dan menghindari kebangkrutan. Dari 80 wilayah produksi migas di Indonesia, kata Kepala Sub Bagian Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Elan Biantoro, sebanyak 60%-70%  KKKS sakit karena tidak lagi menghasilkan profitnya. 

"Bila cost mereka US$ 30 per barel, kemudian harga minyak US$ 29 per barel. Ya, sakit dia," ujar Elan. 

SKK Migas tak menampik harga minyak yang terus menyusut telah mengurangi jumlah kontraktor migas di Indonesia. Jika sebelumnya tercatat ada 330 KKKS, kini susut menjadi 312 KKKS. 

Dari 312 KKKS itu, sebanyak 232 KKKS eksplorasi dan sekitar 80 KKKS mengelola blok migas yang sudah produksi. Lalu dari 232 KKKS yang eksplorasi, 60 KKKS kontraknya akan berakhir. 

Salah satu yang tak memperpanjang misalnya Chevron Indonesia Company (CICO) di Blok East Kalimantan (EKAL). Mereka telah memutus hubungan kerja bagi karyawannya. Lalu ConocoPhillips yang menjual sahamnya di Blok B Laut Natuna Selatan.

Kondisi ini seperti déjà vu dari fenomena masa lalu saat harga minyak jatuh ke US$ 8 per barel-US$ 10 per barel akhir 1980-1990-an. Perbedaannya, saat itu harga rata-rata hanya sekitar US$ 20 sampai US$ 25 per barel.

Lantas awal 2000, harga minyak mulai merangkak naik ke US$ 37,55 per barel sampai tahun 2004 mencapai US$ 47 per barel. Puncaknya 2008 harganya mencapai US$ 100 per barel. 
"Saat itu terjadi windfall profit atau rezeki nomplok yang menimpa perusahaan migas," kata dia.

Pada saat harga minyak mulai naik di era tahun 2000-2008, ada fenomena repositioning perusahaan-perusahaan besar untuk melakukan konsolidasi dengan merger. 

Misalnya Exxon dan Mobil menjadi ExxonMobil, dan Conoco dengan Phillips menjadi ConocoPhillips. Adapun perusahaan lainnya yang memutuskan tutup, seperti Huffco (Huffington Company) yang sekarang menjadi VICO.

Kondisi ini menjadi fenomena yang baru. Karena bila mereka tidak melakukan konsolidasi, hampir pasti tidak mampu bertahan dengan kondisi gejolak harga seperti sekarang. 
Kondisi ini bukan mustahil terulang. "Sekarang harga minyak sudah turun dari US$ 100 ke US$ 30 per barel," jelasnya.

Prediksi Elan takd itampik oleh Board of Director Indonesia Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah. Sammy percaya, penurunan harga minyak yang terjadi sekarang ini terjadi akan berlangsung dalam jangka panjang. 

Karena itu,  KKKS akan menghentikan produksi di lapangan yang tidak ekonomis atau yang baru berproduksi. "Lapangan yang baru ini terpukul karena biaya investasinya belum kembali," ujar dia.  

Saat pengembangan wilayah migas,  mereka berasumsi harga minyak US$ 60, US$ 80 sampai US$ 100 per barel. Dengan kenyataan harga minyak seperti sekarang,  mereka  sulit bisa bertahan. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×