kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

ESDM setop ekspor lima produsen mineral mentah


Senin, 20 Agustus 2018 / 10:37 WIB
ESDM setop ekspor lima produsen mineral mentah
ILUSTRASI. Smelter nikel


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai beringas. Yakni dengan menindak tegas perusahaan tambang yang lamban dalam merealisasikan pembangunan pengolahan tambang atau smelter. Ada lima perusahan tambang yang izin ekspornya distop.

Dari lima perusahaan itu, satu perusahaan bauksit dan empat perusahaan nikel. Mereka antara lain: PT Toshida Indonesia, PT Surya Saga Utama, Modem Cahaya Makmur, Intergra Mining dan Lobindo. (lihat tabel). Kelima perusahaan itu sudah mendapat rekomendasi ekspor mineral sejak setahun lalu tapi hingga kini belum membangun smelter. Alhasil, pemerintah mencabut izin ekspor mereka.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Bambang Susigit mengaku sudah mengirimkan tabel rincian perusahaan yang izin ekspornya dicabut. "Benar, izinnya dicabut karena mereka tak menyampaikan laporan," tandas Bambang kepada KONTAN, Minggu (19/8).

Ia menuturkan, tak ada jangka waktu untuk mengubah status tersebut. Walhasil, kini semuanya bergantung komitmen masing-masing perusahaan untuk memenuhi aturan dalam pembangunan smelter dan pelaporan perkembangan proyeknya.

"Pokoknya tergantung dia (perusahaan). Kalau laporannya masuk, kita klarifikasi dan review. Yakni betul atau tidaknya laporan mereka. Jika valid, izin ekspor akan kami berikan. Jika tidak, ya stop. Kalau peringatan terakhir kita kasih 45 hari, jelas Bambang panjang lebar.

Merujuk Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perngusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam Pasal 55 ayat 5 aturan tersebut menyebutkan, kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian harus mencapai paling sedikit 90% dari rencana kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian yang dihitung secara kumulatif sampai satu bulan terakhir oleh verifikator independen.

Lebih lanjut, ayat 7 disebutkan bahwa dalam setiap enam bulan, persentase kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian tidak mencapai 90%, maka Kementerian ESDM (Dirjen atas nama Menteri), menerbitkan rekomendasi kepada Dirjen yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan luar negeri untuk mencabut persetujuan ekspor yang sudah diberikan.

Penghentian sementara dan permanen sebenarnya sama. Yakni tak ada kegiatan ekspor. Kalau masih ada, itu pelanggaran dengan sanksi pidana," ujarnya.

Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I), Jonatan Handojo menyatakan, Kementerian ESDM seharusnya bisa lebih tegas dalam melakukan pengawasan dan penindakan atas pelanggaran aturan.

Salah satunya, kata Jonatan adalah kontrol yang konsisten dan kontinuitas sehingga bisa meminimalisasi pelanggaran. "Kesalahan ESDM tidak terus dikontrol. Jadi kurang ada monitoring yang mengiringi peraturan yang dibuat. Harusnya ada konsistensi buat kontrol periodik," ujar Jonatan.

Dampaknya, kata Jonathan adalah kurangnya komitmen perusahaan untuk mematuhi pembangunan smelter. Ini merugikan perusahaan yang taat dalam kewajiban membangun smelter. Apalagi, jika perusahaan tidak patuh terhadap produksi dengan mengangkut barang tambang tanpa mempedulikan kuantitasnya.

"Rugi bagi perusahaan yang serius membangun smeltel. Mereka betul betul investasi. Apalagi itu kan nggak reneweble, terus diambil ya habis, jadi ini bisa merepotkan ikita sendiri karena bahan bakunya diobral," terang Jonatan.

Untuk itu, Pemerintah harus berhati-hati dengan perusahaan-perusahaan yang tak serius membuat smelter atau yang tak menaati peraturan.

Menurutnya, penegakkan hukum penting untuk menjamin kepastian investasi. Jika pemerintah teledor, pebisnis akan terus menerus memanfaatkan celah. "Jika terus dikasih izin, bodoh jika tak menggunakan," ujarnya.

Adapun Bambang Susugit menolak bila dibilang pihaknya tidak optimal dalam menjalankan pengawasan. Menurut Bambang, perlu jelas persepsi dan kriteria mengenai kritikan itu. "Ukurannya harus sama dulu, yang dimaksud kurang itu apa, tidak konsistennya itu apa. Kita samakan dulu kriterianya. Jadi setiap perusahaan itu minimal 6 kali diawasi. Setiap tiga bulan, setiap enam bulan, setiap mengajukan, tandas Bambang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×